Oleh Nurdin Hasan
Banda Aceh, TAG - Warga Aceh punya tradisi unik yang mungkin tak ditemukan di daerah lain Indonesia, dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadhan, lebaran Idul Fitri dan Idul Adha. Tradisi yang telah turun-temurun dilaksanakan disebut makmeugang atau meugang, yaitu pergi ke pasar untuk membeli daging, memasak dan makan bersama keluarga.
![]() |
Pedagang daging sedang melayani pembeli pada hari makmeugang di Pasar Ulee Kareng, Banda Aceh, Senin, 8 Juli 2013. [FOTO - NURDIN HASAN] |
Makmeugang digelar dua hari menjelang datangnya ketiga momentum itu. Selama dua hari, warga berbondong-bondong mendatangi pasar, untuk membeli daging sapi atau kerbau. Lalu, daging dimasak untuk disantap bersama seluruh anggota keluarga.
Harga daging makmeugang naik drastis dari biasanya. Makmeugang puasa tahun ini, harga daging mencapai Rp 130.000 perkilogram. Sedangkan di hari-hari biasa, harga daging di Aceh berkisar Rp 70.000 – Rp 90.000 perkilogram. Tahun ini, puluhan ribu sapi dan kerbau disembelih di seluruh Aceh mulai di perkotaan hingga pelosok desa untuk memeriahkan tradisi makmeugang.
Eliana, 42, seorang ibu rumah tangga di Banda Aceh, mengaku telah mempersiapkan diri untuk menyambut makmeugang sejak sepekan sebelumnya. Ia membeli berbagai kebutuhan dapur seperti cabe, bawang, dan bumbu-bumbu lainnya meski harganya melonjak tinggi seiring kebijakan pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).
“Harga cabe mencapai Rp 60.000 perkilogram. Bawang juga Rp 60.000 perkilogram, tapi mau bagaimana lagi harus beli untuk menikmati daging makmeugang bersama keluarga sebelum menjalankan ibadah puasa Ramadhan,” ujar ibu lima anak ini.
Eliana menambahkan ia membeli dua kilogram daging sapi dengan harga Rp 120.000 perkilogram di Pasar Ulee Kareng, pinggiran ibukota Banda Aceh, pada hari pertama makmeugang, Senin (8 Juli 2013). Ia pergi ke pasar dekat rumahnya, pukul 7:00 Wib karena khawatir tak mendapatkan daging segar.
“Saya pagi-pagi ke pasar untuk beli daging, karena khawatir nanti harganya akan naik lagi seperti tahun-tahun sebelumnya. Biasanya pedagang suka menaikkan harga bila stok daging sudah menipis menjelang siang,” katanya.
Di pinggiran jalan pasar, berjejer gantungan paha daging sapi atau kerbau yang telah disembelih pada sepotong kayu, sehingga dagingnya menjulur ke bangku. Pedagang baru memotong sesuai permintaan pembeli apakah satu atau dua kilogram.
Muhammad Ali, seorang pedagang daging di Pasar Ulee Kareng menyebutkan, tahun ini, dia menyembelih dua ekor sapi. Menjelang siang, dagingnya habis terjual. Harga yang dipatok Rp 130.000 perkilogram.
“Saya cuma menjual daging khusus pada saat makmeugang. Harganya sedikit mahal, karena seluruh warga Aceh pasti membeli daging. Makmeugang sudah jadi tradisi di Aceh, dimana seluruh warga membeli daging meski dari keluarga miskin,” katanya.
Sejarah Makmeugang
Badruzzaman Ismail, Ketua Majelis Adat Aceh (MAA), ketika diwawancarai, Senin (8 Juli 2013), menyebutkan makmeugang pertama kali dilakukan pada masa Sultan Iskandar Muda memimpin Kerajaan Aceh di abad ke-16 Masehi.
“Istilah makmeugang ada tercantum dalam Qanun Meukuta Alam (Undang-Undang yang berlaku di masa Kerajaan Aceh di bawah Pemerintahan Sultan Iskandar Muda). Jadi, tradisi ini sudah ada sejak zaman dulu,” katanya.
Pada hari makmeugang, Sultan memotong hewan dalam jumlah banyak. Dagingnya dibagi-bagikan secara gratis kepada rakyat yang membutuhkan sebagai bentuk rasa syukur atas kemakmuran kerajaan dan sekaligus wujud terima kasih bagi rakyatnya.
“Setelah Aceh dikalahkan oleh Belanda, kerajaan bangkrut. Lalu rakyat berpartisipasi sendiri dengan memotong sapi atau kerbau pada hari makmeugang. Tradisi itu tetap dipertahankan oleh masyarakat Aceh sampai sekarang meski kemajuan zaman sudah begitu canggih,” katanya.
“Jadi, semiskin-miskinnya orang Aceh, mereka dapat makan daging tiga kali setahun yaitu pada hari makmeugang. Kalau tidak sanggup membeli sendiri, biasanya daging diberikan oleh orang kaya.”
Menurut Badruzzaman, banyak manfaat dalam tradisi makmeugang. Hari itu, terjadi interaksi sosial antara masyarakat, dimana orang kaya memberi daging untuk warga miskin. Selain itu, terjadi silaturrahmi dan kebersamaan sesama warga atau anggota keluarga. Biasanya warga yang merantau ke kota, pulang kampung untuk menikmati daging makmeugang bersama keluarga sehingga ada silaturrahmi.
“Pada hari itu juga mendorong ekonomi rakyat tumbuh karena terjadi transaksi jual beli dalam jumlah besar. Selain jual beli daging, berbagai kebutuhan dapur laku keras pada hari makmeugang, karena banyak warga ke pasar membeli berbagai keperluan dalam mempersiapkan puasa Ramadhan,” katanya.
“Tradisi ini seperti Expo pasar daging dalam jumlah banyak yang tidak ditemukan di daerah lain di Indonesia. Makmeugang juga bisa menjadi ajang wisata karena tradisi yang sangat unik. Tetapi, peluang itu belum digarap secara serius oleh pemerintah.”
Punya Nilai Religius
Ameer Hamzah, seorang tokoh masyarakat Aceh, menyatakan bahwa makmeugang memiliki nilai religius karena dilakukan pada waktu-waktu yang dianggap suci bagi umat Islam di Aceh. Warga di provinsi ujung barat Indonesia menganggap Ramadhan sebagai bulan menyucikan diri. Sebagian warga masih memegang teguh kepercayaan bahwa nafkah yang dicari 11 bulan dinikmati selama Ramadhan sambil beribadah, katanya.
Filosofi lain dapat dipetik dari makmeugang jika dikaitkan dengan Islam yaitu sebagai bentuk syukur kepada Tuhan yang telah memberi rezeki “karena orang Aceh sangat kental dengan nilai-nilai keislaman,” kata Ameer, yang juga seorang penceramah di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.
Menurut dia, sudah menjadi tradisi, setiap kepala rumah tangga membeli minimal dua atau tiga kilogram daging untuk disantap bersama. Sebagian masyarakat masih meyakini pantang bagi satu keluarga tidak memasak daging pada hari makmeugang, sementara dari rumah tetangga tercium aroma masakan kari daging.
Ditambahkan, sebagian warga Aceh pedesaan melarang anak-anaknya keluar rumah bermain di tempat tetangga pada hari makmeugang. Ada juga orang tua yang tidak membolehkan anaknya bersekolah pada hari makmeugang karena ingin menikmati daging setelah dimasak bersama seluruh anggota keluarga.
“Malah, bagi seorang pria yang baru menikah sepertinya diwajibkan untuk membeli daging minimal tiga kilogram untuk dibawa pulang ke rumah mertuanya. Kalau hal itu tak dilakukan, aib bagi mempelai pria dan keluarga tersebut, karena mereka akan malu kepada orang seisi kampung,” kata Ameer, yang juga seorang ulama di Aceh.
“Kalau di pedesaan yang masih kuat adatnya, mempelai pria itu bisa jadi tak diterima lagi sebagai menantu kalau tidak membawa pulang daging.”
“Malah, kalau mempelai pria itu punya kelebihan rezeki, ia membawa pulang kepala sapi ke rumah mertuanya. Kalau ada mempelai pria membawa pulang kepala sapi, maka dia akan menjadi kebanggaan keluarga tersebut di mata warga desa.”[]
Makmeugang, Warisan Sang Sultan
Reviewed by theacehglobe
on
August 02, 2013
Rating:

No comments: