OLEH NURDIN HASAN
Banda Aceh (TAG) – Sekitar seratus orang memenuhi kursi
bagian belakang sebuah warung kopi pinggiran ibukota Banda Aceh. Sebagian besar
mereka berusia di bawah 30 tahun. Di meja, berjejer gelas-gelas mini berisi minuman
warna coklat muda, yang siap diseruput.
Petang itu, Minggu (12/10), mereka menggelar #SangerDay di Solong Mini Coffee. Riuhnya dalam warung disesaki pengunjung, yang sedang menonton pertandingan sepakbola antara Indonesia dan Australia, tak memengaruhi perhelatan #SangerDay. Mereka larut dalam kegembiraan dan baru beranjak setelah acara usai, bersamaan terdengar kumandang suara azan Maghrib dari kejauhan.
Petang itu, Minggu (12/10), mereka menggelar #SangerDay di Solong Mini Coffee. Riuhnya dalam warung disesaki pengunjung, yang sedang menonton pertandingan sepakbola antara Indonesia dan Australia, tak memengaruhi perhelatan #SangerDay. Mereka larut dalam kegembiraan dan baru beranjak setelah acara usai, bersamaan terdengar kumandang suara azan Maghrib dari kejauhan.
Perayaan #SangerDay diisi
dengan minum sanger bareng, diiringi musik akustik, baca puisi tentang kopi, dan
standup komedi. Beberapa kali applaus kala rangkaian acara berganti. Puncak
kemeriahan terjadi saat seluruh yang hadir, mengangkat gelas berisi sanger.
Sanger adalah minuman khas
Aceh – campuran kopi, susu dan sedikit gula pasir. Karena rasanya khas dan
hanya ada di Aceh, komunitas I Love Aceh – tempat kaum muda bernaung yang gencar
mengampanyekan hal positif tentang Aceh – menginisiasi event #SangerDay.
Temanya, “Every Day is Sanger Day.”
M Antonio Gayo, ketua
panitia menyatakan #SangerDay perdana untuk memperkenalkan minuman
khas Aceh kepada dunia. Dia mengharapkan lewat perayaan #SangerDay akan banyak
wisatawan mengunjungi Aceh untuk menikmati sanger dan berbagai kuliner Aceh lain,
sambil menjelajahi keindahan alam dan situs bekas tsunami di provinsi ujung
barat Indonesia.
“Ide kegiatan ini berawal
dari twit seorang follower @iloveaceh setahun lalu tentang perlunya merayakan #SangerDay
karena minuman ini hanya ada di Aceh,” katanya, seraya berharap #SangerDay tetap digelar setiap tahun dengan berbagai kegiatan untuk menarik
wisatawan datang ke Aceh.
Ide perayaan #SangerDay
mendapat respon positif followers lain. Lalu, relawan @iloveaceh
menggerakkan komunitas lain dan para penikmat sanger untuk bersama menggelar
acara lewat hastag #SangerDay di Twitter. Hastag itu memenuhi lini massa para
pengguna Twitter di Aceh sejak sepekan menjelang acara hingga Senin (13/10)
dinihari.
Selain sanger, sore itu
juga disajikan timphan – penganan
tradisional Aceh yang sangat populer. Timphan
terbuat dari tepung ketan dan pisang, dibalut daun pisang. Di dalamnya terdapat
sarikaya terbuat dari telur, santan, dan gula. Ada juga warga Aceh membuat timphan berisikan kelapa inti dan gula.
Awal kemunculan sanger
terbilang unik. Fahmi Yunus, seorang
pekerja kemanusiaan yang juga dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry
Banda Aceh, ialah pencetus perlunya merayakan #SangerDay. Fahmi
menjelaskan pada tengah malam 11 Oktober 2013, secara tiba-tiba mentwit betapa
pentingnya merayakan #SangerDay karena punya sejarah unik.
“Kenapa harus tanggal 12
Oktober? Karena idenya muncul tengah malam, jadi nggak asyik kalau harus
merayakan malam-malam. Makanya lebih baik dirayakan besok, tanggal 12 Oktober,” jelasnya,
sambil menyeruput sanger yang tinggal setengah gelas.
Ternyata, ide tengah malam
itu mendapat respon admin akun @iloveaceh. Lewat diskusi dunia
maya di twitter land disepakati
merayakan pada 12 Oktober 2014. Banyak folllowers @iloveaceh yang mencapai
50.000 orang lebih setuju dengan ide perayaan #SangerDay.
Menurut Fahmi, sanger
pertama kali muncul pada 1997 di warung kopi Atalanta, kawasan Ulee
Kareng, pinggiran Banda Aceh. Waktu itu, Indonesia sedang diterjang krisis
moneter dahsyat sehingga harga-harga melonjak. Kedai kopi itu menjadi tempat nongkrong aktifis mahasiswa, sambil menikmati kopi.
“Mahasiswa yang tak kuat
minum kopi hitam coba negosiasi dengan pemilik warung. Mau pesan kopi susu,
nggak sanggup bayar karena mahal. Lalu, mereka memesan kopi dengan
mengurangi susu, tapi ditambah sedikit gula pasir,” katanya.
“Kesepakatan atas
dasar saling pengertian atau sama-sama ngerti antara pemilik warung dan
mahasiswa. Lama kelamaan ungkapan 'sama-sama ngerti' disingkat menjadi sanger. Setiap mahasiswa pesan sanger, pemilik warung sudah ngerti dan tak perlu bertanya lagi.”
Wisata kuliner
Bagi Devi Pratiwi, Duta Wisata
Aceh 2014, #SangerDay punya makna tersendiri. Mahasiswi Universitas Syiah
Kuala itu berjanji akan mempromosi sanger sebagai bagian wisata kuliner Aceh. Apalagi
“saya suka minum sanger karena rasanya enak,” ujarnya.
General Manager Hermes
Hotel, Octowandi yang ikut nimbrung pada acara #SangerDay, berkomentar soal perlunya
sanger dipatenkan karena “ini produk asli Aceh”. Dia berharap ada standar
sanger di setiap warung kopi. “Kalau rasa mungkin berbeda antara satu warung
dan warung lain, tapi minimal ada standar minimumnya,” katanya.
Warung kopi yang bertebaran di
hampir setiap sudut kota Banda Aceh menjadikan sanger – selain juga kopi tentunya – sebagai
sajian khas sehingga warga dari berbagai kalangan dan profesi betah nongkrong
berjam-jam. Apalagi, sebagian besar warung kopi menyediakan
fasilitas wifi internet gratis pasca-rekonstruksi tsunami yang melanda Aceh, 26 Desember 2004.
Kalangan aktifis
masyarakat sipil dan politisi sering bertukar pikiran dan menggelar diskusi di
warung kopi sambil menikmati sanger atau kopi. Banyak deal dan lobi-lobi proyek juga berlangsung di warung kopi. Hal sama dilakukan kaum
muda dan mahasiswa hingga larut malam dengan ditemani sanger atau kopi, sambil
menjelajahi dunia maya, sekadar chatting atau mencari bahan kuliah.
Sanger bisa disaji panas maupun dingin, tergantung selera. Harganya bervariasi antara Rp 5.000 hingga
8.000 untuk kopi Robusta. Sedangkan sanger kopi Arabika, sedikit mahal.
Dalam beberapa tahun terakhir, mulai muncul warung kopi luwak di Banda Aceh.
Tentu, harga secangkir sanger kopi luwak lebih mahal lagi.
“Sanger rasanya unik, tak
terlalu manis dan tidak pahit. Menurut saya, sanger aman untuk lambung,” kata
Danurfan, penikmat kopi yang ikut merayakan #SangerDay. Dia mengaku, hari Minggu itu,
menghabiskan sembilan cangkir kopi dan dua gelas sanger.
Selain sanger, masih
banyak kuliner Aceh lain yang tak boleh dilewatkan. Sebut saja ayam tangkap – ayam
kampung muda yang digoreng dengan bumbu dan rempah-rempah khas. Ada juga kari
kambing kuah beulangong, yang dimasak
dalam belanga besar. Di beberapa warung nasi pinggir jalan, kari kambing ditambah
ganja sebagai bumbu penyedap sehingga daging lebih empuk dan nikmat rasanya.[]
“Every Day is Sanger Day”
Reviewed by theacehglobe
on
October 15, 2014
Rating:
No comments: