INI kisah satu keluarga
korban tsunami Aceh. Pasangan ini tak pernah kehilangan harapan kalau dua anak mereka, yang hilang saat gelombang laut menerjang daratan, masih hidup.
Harapan mereka akhirnya terwujud menjelang peringatan 10 tahun tsunami. Keajaiban
pun datang. Bukan hanya sekali, tapi dua keajaiban.
MINGGU, 26 Desember 2004.
Jarum jam tepat pada angka 07:58 Wib. Bumi terguncang hebat. Pria 42
tahun itu masih rebahan di tempat tidur. Matanya terpejam. Usai melaksanakan
shalat Shubuh pukul 6:05 Wib, Septi Rangkuti memilih tidur lagi karena
hari itu tidak bekerja. Kain sarung yang digunakan untuk shalat masih
dikenakannya.
Ia membangunkan dua
putranya – Zahry Rangkuti, 8 tahun, dan Arif Pratama Rangkuti, 7 tahun – yang
terlelap di kamar sebelah. Putri semata wayangnya, Raudhatul Jannah, 4,5 tahun,
yang asyik bermain boneka di ruang keluarga, segera digendongnya.
Mereka secepatnya lari
keluar melalui pintu belakang rumah, yang terletak di Lorong Kangkung, Desa
Panggong, Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat. Istrinya, Jamaliah,
32 tahun, yang sejak pukul 6:30 Wib mencuci pakaian di sumur sudah duluan
keluar begitu gempa mengguncang.
Mereka berlima berdiri di
samping rumah toko lantai dua yang belum selesai, tepat di belakang rumahnya.
Karena guncangan bumi sangat dahsyat, mereka terpaksa harus duduk di tanah.
Seorang warga yang berdiri di jalan, tak begitu jauh dari mereka, berteriak,
“Jangan di situ, nanti roboh.”
Septi yang merangkul Arif
dan Raudha bangkit. Begitu juga dengan Jamaliah, yang memegang Zahry. Dengan
sempoyongan, mereka berlima tertatih ke tengah jalan, tempat sejumlah warga
duduk. Semua berzikir. Mulut mereka tak henti mengucapkan, “Lailahaillallah.”
Dua menit berselang, lantai dua rumah toko, tempat keluarga Septi pertama
duduk, ambruk.
Kekuatan gempa bumi pagi
itu awalnya dicatat 8,9 Skala Richter. Pusatnya di kedalaman Samudera Hindia,
lepas pantai barat Pulau Sumatera. Belakangan, para ilmuan merevisi kekuatan
gempa teknonik itu menjadi 9,3 Skala Richter. Guncangan kuat berlangsung selama
delapan menit lebih.
Belasan menit berselang,
tsunami menerjang hampir 1.000 kilometer pesisir Aceh. Gelombangnya menyapu 15
negara di sepanjang garis pantai Samudera Hindia hingga mencapai Benua Afrika.
Tak kurang 234.000 orang, termasuk 170.000 lebih warga Aceh, tewas dalam
bencana paling dahsyat dalam sejarah modern manusia.
Di provinsi ujung barat
Indonesia, yang sedang dirundung konflik bersenjata antara pasukan keamanan
TNI/Polri dan gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), tingkat kerusakannya mencapai
antara satu hingga enam kilometer ke daratan, meluluhlantakkan berbagai
infrastruktur, meratakan kampung-kampung nelayan. Perekonomian rakyat lumpuh.
Lebih dari 550.000 warga Aceh terpaksa harus mengungsi.
Saat gempa reda, Septi
masuk ke rumah. Beberapa perabotan rumah jatuh ke lantai. Dia tak berusaha
membereskan. Setelah menggantikan sarung dengan celana, dia bergegas
mengeluarkan sepeda motor Suzuki 120cc. Septi segera bergabung dengan istri dan
tiga buah hati hasil perkawinan yang telah mereka bina sejak tahun 1994.
Di tengah kekhawatiran dan
ketakutan akan terjadi gempa susulan, terdengar teriakan dari kejauhan, “Air
laut naik!” “Air laut naik!” “Air laut naik!” Orang-orang berlarian ke arah
jauh dari laut. Septi menghidupkan sepeda motornya. Dia meraih Raudha,
didudukkan paling depan. Arif diletakkannya antara dia dan Raudha. Zahry naik
dan duduk di belakangnya. Jamaliah berada di posisi paling belakang.
Septi memacu sepeda motor
melintasi pasar tradisional yang padat pembeli. Tapi, hanya 1,5 kilometer dia
mengendarai Suzuki merah, yang dibelinya tiga tahun silam. Arus lalu lintas
semakin padat. Sepeda motornya tak bisa dilalui lagi, karena macet. Mereka
terpaksa berhenti di tengah kerumunan mobil, sepeda motor dan orang-orang yang
berlarian.
Tiba-tiba dari sisi kanan,
mereka melihat gelombang laut menerjang. Tapi tak terlalu tinggi. Mereka turun
dari sepeda motor. Dalam hitungan detik, air laut berwarna hitam menghantam
keluarga itu dan warga yang dalam kepanikan. Septi merangkul Raudha dan Arif. Istrinya
memegang Zahry. Mereka diseret ombak laut.
Tak berapa lama, gelombang
kedua lebih tinggi menerjang. Septi, yang masih mendekap Raudha dan Arif,
melihat sepotong papan hanyut – antara puing rumah dan bangunan yang diseret
arus – menuju ke arahnya. “Mungkin daun pintu rumah orang,” katanya. Secara
reflek, dia letakkan Raudha dan Arif ke papan itu. Septi masih sempat berenang
sambil memegang papan itu.
Lalu, gelombang kembali
menghantam Meulaboh, ibukota Aceh Barat. Papan terlepas dari tangannya. Sebelum
digulung ombak raya, Septi masih sempat mendengar panggilan dua buah hatinya,
“Ayah!” Tubuhnya diputar-putar di bawah pusaran air laut berwarna hitam.
Beberapa kali, dia timbul tenggelam. Septi hanya bisa pasrah dan berdoa.
Septi kembali muncul ke
permukaan. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, ia berusaha berenang agar tidak
lagi ditarik ke pusaran air. Dilihatnya sebatang pohon kuini, yang terpaut 10
meter. Ternyata, air laut telah menyeretnya satu kilometer lebih dari tempat
dia menghentikan sepeda motor. Perlahan, Septi berenang, berusaha mencapai
pohon itu. Dia berhasil.
Di atas batang kuini,
Septi mengumpulkan tenaga. Beberapa bagian tubuhnya penuh luka akibat tergores
puing rumah yang dihumbalang ombak raya. Baju dan celananya robek. Ia tak
peduli kondisinya. Dalam hati, Septi terus berdoa pada Allah agar diberi
kekuatan dan keselamatan. Tujuh menit dia bertahan di pohon kuini.
Terpaut delapan meter dari
batang kuini, Septi melihat jejeran toko berlantai dua yang belum selesai
dibangun. Sejumlah warga telah duluan berada di situ, menyelamatkan diri.
Beberapa orang memanggilnya, supaya berenang ke toko itu. Dengan perasaan
was-was akan kembali datang gelombang, sambil terus berdoa, Septi berenang ke
toko lantai dua. Begitu mendekat, beberapa warga segera menariknya.
“Saya hanya duduk
bersender di dinding toko dan tak bicara sepatah kata pun dengan orang-orang di
situ. Pikiran saya seperti hampa dan tak teringat apa-apa. Saya juga tak ingat
istri saya dan anak-anak,” kata Septi, sambil berusaha menahan tangis saat
menceritakan kembali kejadian hampir satu dekade lalu.
Pertengahan Oktober silam,
acehkita.com menyambangi keluarga
Septi, yang tinggal sementara di sebuah rumah, sejak akhir Agustus lalu. Rumah
di ujung Lorong Kangkung, Desa Panggong, itu milik bibi Jamaliah. Rumah bantuan
NGO asing tersebut hanya terpaut sepelemparan batu dari tempat keluarga Septi
tinggal selama 10 tahun sebelum tsunami. Di bekas lokasi rumah peninggalan
nenek Jamaliah itu kini ditempati adik kandungnya, Samsul bersama istri dan
anak-anaknya.
Sementara itu, Jamaliah memeluk erat
tubuh Zahry ketika gelombang laut pertama menghantam Kota Meulaboh. Gempuran
ombak hitam pekat tersebut menggulung ibu-anak ini. Jamaliah semakin
mencengkram Zahry. Ia tak ingin berpisah dengan putra sulungnya itu. Beberapa
kali mereka timbul tenggelam dalam pusaran ombak, yang dipenuhi puing bangunan.
Mereka masih berpengangan.
Tiba-tiba, tubuh Zahry
seperti ada yang menarik dari tangan ibunya. Terlepas. Jamaliah kembali
digulung dalam pusaran ombak. Zahry berhasil mencapai atap sebuah rumah
berlantai dua setelah ditarik beberapa warga, yang lebih dulu menyelamatkan
diri. Zahry mencari ibunya, tapi tak ada di situ. Seorang pamannya yang
kebetulan selamat di atap rumah itu menenangkan Zahry. Sementara sebelumnya,
Jamaliah sudah terpisah dengan suaminya, Septi, dan kedua anak mereka: Arif dan
Raudha.
“Saat digulung ombak
itulah, saya terus berdoa kepada Allah. Kalau memang saat ini ajal saya, saya
sudah siap. Saya juga bermohon agar diberikan umur panjang,” kata Jamaliah,
sambil mengusap butiran air mata yang membasahi pipinya ketika mengisahkan
kembali kejadian tragis dialaminya.
Ia kembali ditarik dalam
pusaran air hitam, beberapa kali. Tiba-tiba, Jamaliah seperti punya kekuatan.
Tumpukan puing bangunan di sekelilingnya terseret ombak. Tubuhnya, terangkat ke
permukaan gelombang, menghantam dinding lantai dua sebuah rumah. Dengan sisa
tenaga, ia pegang erat-erat bagian atap rumah itu sambil berusaha memanjat. Dua
warga segera menariknya ke atap.
Ternyata di situ, ada
Zahry yang lebih dulu ditolong warga. Jamaliah segera memeluk putra sulungnya.
Ia tak bisa menahan tangis. Zahry ikut menangis. Sepupunya berusaha membujuk
Jamaliah agar tetap tenang dan berdoa. “Dari atap rumah itu, saya melihat
orang-orang, dan rumah-rumah hancur, diseret gelombang,” tutur Jamaliah.
Sekitar pukul 16:30 Wib,
air laut yang menggenangi Meulaboh surut sudah. Melihat warga lain turun dari
atap, Jamaliah dan anaknya juga turun. Mereka menyusuri Jalan Nasional di
antara puing dan sampah yang diseret tsunami. Keduanya menyaksikan mayat-mayat
bergelimpangan di jalan, tak ada yang peduli. Memegang tangan Zahry, dalam
kebingungan Jamaliah terus berjalan, tanpa arah.
Pada saat bersamaan, Septi
masih duduk di lantai dua toko. Dia trauma berat dan tetap duduk sendiri,
padahal semua warga lain sudah turun. Seperti ada yang perintah, dia bangkit.
Tak sengaja, pandangannya diarahkan ke Jalan Nasional yang penuh tumpukan
sampah. Dia lihat mayat-mayat berserakan di jalan.
Tiba-tiba di antara
orang-orang yang linglung berjalan, Septi melihat istri dan putra sulungnya.
“Zahry, Zahry, ayah di sini,” teriaknya, dengan suara parau. Mendengar namanya
dipanggil, Zahry dan Jamaliah mendongak kepala ke arah panggilan. Mereka segera
naik ke lantai dua toko, tempat Septi berada. Ketiganya saling berangkulan,
sambil menangis.
“Arif dan Raudha terlepas
dari tangan saya setelah saya letakkan di papan,” kata Septi kepada istrinya
saat Jamaliah bertanya dimana kedua anak mereka, yang dipegang suaminya.
“Sudah, jangan tanya lagi. Kita doakan saja semoga mereka selamat.” Jamaliah
pun terdiam. Mereka hanya bisa menangis lagi.
Akhirnya mereka bertiga
turun dari lantai dua toko. Apalagi ada imbauan dari anggota Tentara Nasional
Indonesia (TNI) melalui pengeras suara agar semua warga pergi Masjid Rundeng,
yang dijadikan tempat penampungan darurat sementara. Di sini, personil TNI
membagikan roti dan air mineral buat warga yang selamat dari bencana – termasuk
Septi, Jamaliah, dan Zahry. Seorang teman Septi yang tinggal dekat Masjid
Rundeng memberikan pakaian kepada mereka.
Tetapi, keluarga Septi
hanya bertahan di masjid itu dua jam. Pasalnya, banyak warga memilih pergi ke
tempat jauh dari pusat Kota Meulaboh, yang mulai gelap gulita. Mereka pun
ikut-ikutan pergi. Melihat ada sebuah mobil pick up berhenti di depan masjid,
ketiganya bersama warga lain berebut naik. “Yang terpenting waktu itu, jauh
dari kota karena kami benar-benar takut. Apalagi gempa masih sering terjadi,”
ujar Jamaliah.
Selama dalam perjalanan,
Septi memilih diam. Jamaliah terus memikirkan dua anaknya. Dalam hati, ia
berdoa agar kedua anaknya selamat. Zahry hanya memegang pergelangan tangan
ayahnya. Dia juga diam. Suasana dalam mobil pick up senyap, tidak ada warga
berbicara. Mereka seolah larut dalam pikiran masing-masing usai mengalami
tragedi memilukan.
Mobil yang mengangkut
mereka berhenti di Pesantren Abu Usman, Gunung Mas, Kecamatan Kaway XVI. Di
situ, banyak warga berkumpul. Warga sekitar sibuk menyiapkan makanan untuk para
korban yang selamat dari gelombang raya. Usai shalat, warga makan. Jelang
tengah malam, Septi dan keluarganya tidur bersama warga lain dalam kelas,
beralaskan lantai semen di pesantren itu.
***
SENIN, 27 Desember 2004.
Sekitar pukul 07:30 Wib, Jamaliah bergegas naik ke sebuah pick up. Ia mau
mencari dua buah hatinya, Arif dan Raudha. Mobil, yang parkir di pesantren,
siap mengantar warga selamat dari tsunami ke Meulaboh. Sejumlah warga telah
duluan duduk di bak terbuka pick up. Mobil bergerak, meninggalkan kawasan
Gunung Mas.
Setelah menurunkan
penumpang hingga batas bisa dilalui kendaraan di ujung jalan, mobil balik arah.
Kembali ke pesantren untuk mengangkut warga lain. Jamaliah menyusuri jalan,
sendiri. Setiap mayat anak yang dijejer di pinggir jalan didekatinya, untuk
mengecek. Kerumunan warga didatanginya. Namun, yang dicarinya, tak ditemukan.
Menjelang Maghrib, ia kembali ke pesantren, menumpang mobil pick up, bersama
warga lain.
Hari itu, Septi dan Zahry
bertahan di pesantren. Septi masih sangat trauma. Ia hanya termenung saja,
enggan berbicara. Zahry membawa ayahnya, untuk mengobati luka-luka goresan, ke
tim medis yang mendirikan posko kesehatan di Dayah Abu Usman. Usai mendapatkan
obat-obatan, Septi kembali ke kelas, istirahat sambil tidur-tiduran.
Keesokan harinya, Jamaliah
kembali lagi ke Meulaboh. Tempat pengungsian, di seputaran ibukota Aceh Barat,
didatanginya. Hari ketiga dan selanjutnya, Zahry mulai menemaninya. Usaha
mereka mencari Arif dan Raudha nihil.
Septi baru ikut ke
Meulaboh pada hari kelima. Mereka menyusuri jalanan dan mendatangi
tempat-tempat pengungsian. Rumah Sakit Cut Nyak Dhien tak lupa mereka singgahi.
Tidak ada infomasi keberadaan kedua anak mereka. Raudha dan Arif bagai lenyap
ditelan bumi.
Setelah dua minggu
mencari, mereka memutuskan pergi ke rumah Zainuddin, abang tiri Jamaliah, di
Desa Padang Baro, Kecamatan Susoh, Kabupaten Aceh Barat Daya. Menumpang sebuah
mobil, yang kebetulan pergi ke Aceh Barat Daya, mereka tiba di Padang Baro,
menjelang senja. Ternyata, di rumah Zainuddin masih tersimpan foto Arif dan Raudha.
Esoknya mereka kembali ke
Meulaboh. Zainuddin ikut membantu mencari Arif dan Raudha. Seminggu, mereka
bolak balik Padang Baro dan Meulaboh. Hasilnya tetap nihil. Atas saran
Zainuddin, mereka memutuskan meminta bantuan “orang pintar” – seorang lelaki
tua dekat Meulaboh. Tak lupa mereka membawa foto Arif dan Raudha.
“Kakek itu bilang, kedua
anak kami masih hidup. Dia berada di daerah arah matahari terbit. Jika dalam
seminggu tak ketemu, anak-anak kami diambil orang,” jelas Jamaliah, mengenang
upaya pencarian Raudha dan Arif.
Mendapat informasi
demikian, besoknya mereka pergi ke Tapaktuan, ibukota Kabupaten Aceh Selatan.
Mereka bawa foto Arif dan Raudha. Setiap orang ditemui, mereka tanya sambil
menunjukkan foto. Beberapa lokasi, setelah mendapatkan informasi keberadaan
anak korban tsunami, mereka datangi.
Tapi Arif dan Raudha tak
ditemukan. Sebulan berada di rumah Zainuddin, keluarga Septi memutuskan kembali
ke Meulaboh. Mereka tinggal di tempat pengungsian bersama warga lain, sambil
terus mencari Arif dan Raudha.
Suatu hari, dua bulan usai
tsunami, Hamdan Rangkuti, seorang adik kandung Septi, datang ke Meulaboh.
Setelah menemukan Septi, adiknya mengabarkan jika ibu mereka, Karsitem –yang
tinggal di Desa Paringgonan, Kecamatan Ulu Barumum, Kabupaten Padang Lawas,
Sumatera Utara— setiap hari menangis karena tak ada kabar dari Septi, putra
tertuanya, dan keluarganya.
“Ibu berpesan jika adik
menemukan kami agar membawa pulang ke kampung halaman saya,” tutur Septi.
Akhirnya, mereka memutuskan pulang ke tanah kelahiran Septi. Apalagi, tinggal
di pengungsian serba kekurangan dan rumah mereka di Desa Panggong, tak dapat
ditempati lagi karena rusak parah.
“Ketika meninggalkan
Meulaboh, saya sangat yakin kedua anak kami masih hidup,” jelas Jamaliah. “Saya
sangat yakin suatu hari nanti, akan menemukan mereka.”
Keyakinan yang sama juga
diungkapkan Septi dan Zahry. Ketiganya mengaku tak terbersit sedikitpun pikiran
kalau Raudha dan Arif ikut menjadi korban tsunami, bersama ribuan warga
Meulaboh.
Beberapa hari berlalu, warga
Paringonan berinisiatif membangun satu rumah untuk keluarga Septi, secara
gotong royong. Dalam tiga hari, rumah ukuran 4 x 3 meter telah berdiri, siap
ditempati. Hanya ada satu kamar tidur dan satu ruangan keluarga, yang juga
dipakai buat memasak. Lantai beralaskan tanah. Atapnya dari daun rumbia, tanpa
plafon.
“Kayu untuk tiang diambil
di hutan dekat kampung. Sebagian dindingnya dari kayu bekas yang masih bisa
dipakai. Malah, ada satu bagian dinding dari meja badminton bekas,” jelas
Septi, sambil tersenyum.
Meski sudah punya tempat
tinggal serba darurat, Septi tetap termenung. Dia masih trauma dan enggan
bekerja. Tiga tahun lebih, dia hanya di rumah saja, tanpa berusaha mencari
nafkah untuk keluarganya. Melihat kondisi suaminya begitu, Jamaliah memutuskan
bekerja untuk menghidupi keluarga.
Lalu, ia membuka warung
nasi pinggir jalan. Jamaliah juga menerima jahitan pakaian, pekerjaan sampingan
yang dilakoninya ketika mereka masih tinggal di Meulaboh, untuk menambah
keuangan keluarga.
Hari terus berganti.
Kehidupan harus dijalani. Hari-hari dijalani Septi dengan berada di rumah.
Jamaliah berjualan di kedai. Zahry melanjutkan sekolahnya. Prestasinya lumayan.
Setiap semester, dia selalu masuk rangking 10 besar.
“Saya sangat sedih melihat
ayah setiap hari hanya termenung saja di rumah,” kenang Zahry, remaja pendiam
yang suka menulis puisi, kepada acehkita.com
yang mewawancarainya sambil menikmati secangkir kopi di sebuah kedai, tak jauh
dari rumah mereka tinggal sementara.
Tak ada niat keluarga
Septi untuk kembali ke Meulaboh yang sedang booming proses rehabilitasi dan
rekonstruksi paska-tsunami. Padahal saat itu, keahlian Septi sebagai tukang
instalasi listrik sangat dibutuhkan karena banyak rumah warga korban tsunami
sedang dibangun.
25 Agustus 2007, Jamaliah
melahirkan anak keempat. Mereka memberi nama Jumadil Rangkuti. Warung Jamaliah
dikelola seorang famili Septi beberapa bulan saat pemiliknya harus istirahat
usai melahirkan. Jamaliah hanya pasrah melihat suaminya yang tetap tak mau
bekerja.
Setelah Jumadil berusia
dua tahun, Septi mulai bangkit dari keterpukuran. Ia sering bercanda dengan
sang jabang bayi. Septi juga mulai mau bekerja, menginstalasi listrik.
Semangatnya perlahan pulih. Setahun lebih kemudian, saat usia Jumadil hampir
empat tahun, seorang abang sepupunya mengajak Septi mendirikan perusahaan
instalasi listrik berbentuk CV.
“Sejak saat itu, saya tak
trauma lagi,” ujarnya.
***
SABTU, 21 Juni
2014. Sekitar pukul 10:00 Wib, Zainuddin, 59 tahun, mengisi pulsa di
sebuah kedai Gampong Padang Baro. Kemudian, kakinya melangkah ke warung kopi
pinggir jalan, milik Rosmani. Di kedai papan ukuran 3 x 4 meter, seorang pria
sedang menikmati kopi. Keduanya terlibat pembicaraan santai.
Tiga anak perempuan
berjalan santai, menghampiri warung. Mereka gembira sambil bercanda. Ros –
panggilan akrab Rosmani – memanggil seorang dari anak-anak yang baru menerima
rapor dari Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Pawoh Padang. Yang dipanggil
mendekat. Bocah pemalu itu dikenal dengan nama Weniati, 14 tahun.
Keduanya larut dalam canda
usai Rosmani memperhatikan isi rapor Weniati. Sesekali tangan Rosmani membelai
kepala Weni, begitu dia biasa dipanggil. Bocah itu terus mengumbar senyum
bahagia karena kali ini dia tidak tinggal kelas. Rosmani dan Weni akrab karena
mereka bertetangga di Gampong Pulo Kayu, yang bersebelahan dengan Padang Baro.
Mereka duduk di bangku
panjang semeter dalam warung, tak jauh dari posisi Zainuddin dan rekannya.
Zainuddin memperhatikan candaan Ros dan Weni. Tanpa sepengetahuan Ros dan Weni,
Zainuddin mengaku menyaksikan satu kejadian yang membuat jantungnya berdegup
kencang.
“Sebagian rambut anak itu
tersibak dari jilbab. Lalu dua helai rambut jatuh ke pahanya,” ujar Zainuddin,
lelaki ramah yang sehari-hari bekerja sebagai sopir alat berat.
Ia segera teringat
mimpinya pada suatu malam, beberapa hari sebelumnya. Dalam mimpi itu, Zainuddin
mengaku didatangi seorang gadis kecil yang langsung duduk di pangkuannya. Sang
bocah hanya diam saja, sambil tersenyum.
“Tiba-tiba sehelai
rambutnya jatuh ke pangkuannya, sama persis seperti yang saya lihat ketika Ros
bersenda dengan Weni,” ungkap Zainuddin, saat ditemui acehkita.com di rumahnya, akhir Oktober lalu.
Sambil menghembus asap
rokok, Zainuddin bertanya, “Anak siapa itu, Ros?” Yang ditanya menjawab, “Anak
tsunami. Kedua orangtuanya meninggal dunia saat tsunami dulu.” Ros melanjutkan
cerita bahwa anak itu dibawa dari Pulau Banyak oleh Mustamir, seorang nelayan
di Pulo Kayu, awal tahun 2006.
Zainuddin tak ingin
berlama-lama di warung Ros. Kopi yang tinggal setengah gelas diseruputnya
sampai habis. Nikmatnya rasa kopi, seolah hambar. Bulu-bulu di tangannya
berdiri. Dia merinding. Usai membayar kopi, dia beranjak, meninggal warung.
Masih sempat dirogohnya kantong celana. Dua lembar Rp 2.000 dari sisa
membeli pulsa diberikannya kepada Weni. Tangan Zainuddin bergetar saat
menyentuh tangan bocah itu.
“Terima kasih, Pak,” ujar
Weni, tersenyum bahagia.
Zainuddin segera pulang ke
rumah. Album foto dibongkarnya. Setelah diutak-atik, dia menemukan yang
dicarinya. Tanpa memberitahu istrinya, dia balik ke kedai Ros. Ditunjukkannya
foto yang di dalamnya ada tujuh orang kepada Ros. Foto itu diabadikan saat
ulang tahun keempat Raudha, beberapa bulan sebelum tsunami terjadi.
Saat Zainuddin tiba di
warung Ros, hari menjelang sore. Weni sudah tak ada lagi di situ. Setelah
menghabiskan air putih yang diberikan Ros, gadis cilik itu minta izin, pulang
ke rumah Sarwani – seorang perempuan miskin 69 tahun yang selama beberapa tahun
terakhir merawatnya di Pulo Kayu. Dengan rona wajah ceria karena naik kelas
empat, Weni menelusuri jalanan desa beraspal.
“Apakah anak tadi itu, ada
dalam foto ini,” tanya Zainuddin. Setelah melihat dengan seksama, Ros menjawab
pasti, “Iya, ini anaknya”, sambil menunjuk ke bocah perempuan yang memakai
bando di foto itu. Lalu, ia bertanya, “Kenapa foto anak ini ada sama bapak?”
Zainuddin kemudian
menceritakan tentang keponakannya yang hilang ketika tsunami di Meulaboh. Anak
perempuan dan bocah pria di sampingnya adalah anak tiri adiknya, Jamaliah.
Mereka hilang ketika tsunami meluluhlantakkan Kota Meulaboh.
Zainuddin kembali ke
rumah. Baru diceritakan pada orang rumah tentang apa yang baru dilihatnya di
kedai kopi Ros. Dia juga baru mengisahkan mimpinya yang sama persis dengan
kejadian disaksikannya di warung Ros. Padahal saat bermimpi dulu, Zainuddin
hanya menanggap sebagai bunga tidur belaka dan tak menceritakan pada siapapun.
Suasana di rumah Zainuddin
heboh. Lalu ia menekan tombol handphonenya, mencari nama Septi. Tak sabar, dia
ingin segera menceritakan kabar gembira kepada adik iparnya yang – sejak dua
bulan usai tsunami – memilih tinggal di desa kelahirannya, Paringgonan, sebuah
desa di pedalaman Sumatera Utara yang dikelilingi pepohonan rindang.
Dari ujung telepon
terdengar suara, “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar
jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi.” Zainuddin tidak sabar. Ia kembali
menekan nama Septi. Pesan yang sama terdengar. Berulang kali dicobanya. Ketika
malam menyelimuti siang, Zanuddin kembali beberapa kali menghubungi Septi.
Tetap jawabannya sama.
“Malam itu, saya tidak
bisa tidur karena terus memikirkan kenapa nomor HP Septi tidak aktif,” ujar
Zainuddin.
***
MINGGU, 22 Juni 2014.
Sekitar pukul 7:30 Wib, Septi sedang mengutak-atik sepeda motor bututnya di
halaman rumah semi permanen ukuran 6 x 6 meter yang dibangunnya, dua tahun
silam. Handphone Nokia di kantong celananya berdering. Segera diraihnya. Di
layar handphone tertera nama Zainuddin.
Dalam hati Septi sempat
bertanya, apa gerangan abang iparnya menelpon pagi-pagi. Di ujung telepon,
Zainuddin mengabarkan berita mengejutkan. Di Pulo Kayu, ada seorang anak sangat
mirip Raudha – putri Septi yang terlepas dari tangannya setelah diletakkan di
papan hanyut saat tsunami menerjang 10 tahun silam.
Seolah tak percaya, Septi
bertanya, “Kelas berapa anak itu, bang?” Zainuddin menjawab, “Kelas empat MIN.”
Septi langsung menjawab, itu bukan anaknya. Sebab kalau anak itu benar Raudha,
seharusnya dia sudah duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) karena
usianya genap 14 tahun.
Secara tak sengaja, tangan
Septi tersentuh sepeda motor. Nokia di tangannya terjatuh. Pembicaraan mereka
pun terputus. Septi sempat bercerita apa yang dikatakan Zainuddin kepada
istrinya. Ketika dibilang anak itu kelas 4 MIN, Jamaliah tak percaya karena
bila putrinya masih hidup, sekarang sudah kelas 1 atau 2 SMP.
Sesaat kemudian, seorang
putri Zainuddin menelpon. Kali ini, Jamaliah yang menjawab. Putri Zainuddin
mengatakan, ayahnya sekarang sedang menangis di kamar. Dia berusaha meyakinkan
bibinya. Lalu, Jamaliah minta dikirimkan foto anak itu melalui HP. Karena HPnya
tak bisa menerima kiriman foto, dia memberikan satu nomor seorang tetangganya.
Esoknya, atas bantuan Ros,
Weni dibawa ke rumah Zainuddin. Setelah difoto, segera dikirim ke nomor
tetangga Septi. Perempuan yang rumahnya di depan rumah Septi memperlihatkan
foto itu kepada Jamaliah. Ketika melihat foto anak dalam HP, Jamaliah mengaku
jantung berdegup kencang. “Rahim saya tiba-tiba terasa sakit,” katanya.
Septi yang duduk di
samping meraih telepon di tangan istrinya. Seksama, dia menatap foto anak dalam
handphone. “Betul ini Raudha, anak kita,” ujarnya.
Zainuddin meminta keluarga
Septi segera datang ke Aceh. Di Paringgonan, kabar putri Septi telah ditemukan
cepat beredar. Puluhan tetangga datang ke rumahnya. Septi dan Jamaliah ingin
segera ke Aceh. Tetapi, tak ada uang karena telah diserahkanke Zahry, untuk
biaya mendaftar masuk universitas di Medan, beberapa hari lalu.
Warga berinisiatif,
mengumpulkan uang. Famili Septi juga ikut menyumbang. Akhirnya, terkumpul uang
Rp 3 juta. Mereka siap berangkat ke Aceh. Tanggal 25 Juni 2014 malam, Septi,
Jamaliah dan putra bungsu mereka, Jumadil, naik bus di Sibuhuan, ibukota Padang
Lawas – kabupaten pemekaran dari Tapanuli Selatan – menuju Medan. Perjalanan ditempuh
selama 12 jam.
Sebelum berangkat, mereka
menghubungi Zahri, yang meunggu ujian masuk perguruan tinggi di Medan. Putra
sulung Septi itu telah mendaftarkan diri di dua universitas. Dia memilih
jurusan Bahasa Inggris dan Teknik Pertambangan. Zahry dikabari adiknya telah
ditemukan di Aceh.
Zahri diminta menunggu
kedua orang tua dan adiknya di Medan. Selanjutnya, mereka berempat berangkat ke
kampung Zainuddin, dengan menyewa sebuah mobil. Menjelang subuh keesokan
harinya, mereka tiba di rumah Zainuddin.
Zahry harus mengorbankan
harapannya, tak ikut tes masuk perguruan tinggi. “Saya rela tidak ikut ujian
masuk perguruan tinggi. Saya senang akhirnya adik saya ditemukan selamat
setelah hampir 10 tahun terpisah,” ungkapnya seraya berharap tahun depan bisa
kuliah untuk menggapai cita-citanya.
Keinginan Zahry bertemu
kedua adiknya pernah dinukilkan dalam satu puisi, pada suatu malam setahun
lalu.
Doa dalam Sujudku
Terbalut
dalam dinginnya malam,
Kulihat
samar wajah indah di sudut kamar.
Kedua
adikku... entah dimana dan bagaimana kabarnya,
Entah kapan
dan dimana aku akan bertemu dengannya.
Masih
terlihat tingkah lucunya,
Masih kurasa
canda tawa dan senyumnya.
Apakah aku
masih bisa melihatnya,
Atau waktu
tak mengizinkan aku bertemu dengannya.
Dalam
sujudku padaMu,
Aku
panjatkan doa untuk semua yang hilang dari pandanganku.
Akankah
waktu mempertemukan mereka denganku.
Dalam
sujudku padaMu,
Aku
panjatkan doa untuk semua yang hilang dari pandanganku.
Tunjukkan
padaku keberadaannya, antara ada dan tiada...
Dalam
sujudku padaMu,
Aku
panjatkan doa untuk semua yang hilang dari pandanganku,
Izinkan aku
melihatnya di tengah sepi, walau hanya dalam mimpi.
Sekitar pukul 9:00 Wib
keesokan harinya, Zainuddin menghubungi Ros agar membawa Weni ke rumahnya.
Jamaliah duduk lantai di ruang tamu, dengan istri Zainuddin. Sementara itu,
Septi dan Zainuddin duduk di ruang keluarga sambil mengisap rokok. Zahry, dan
Jumadil juga ada di situ. Suasana senyap. Tak ada yang berbicara.
Tiba-tiba Ros dan Weni
datang, mengucapkan salam. Ros bersalaman dengan Jamaliah dan istri Zainuddin.
Weni yang berjalan di samping Ros melakukan hal sama. Begitu Weni bersalaman
dengan Jalamiah, perempuan tambun itu menjerit, “Benar, ini anak saya.” Weni
yang masih bingung segera dipeluknya. Dia pun membalas pelukan Jamaliah.
Septi yang duduk sekitar
dua meter dari istrinya bangkit. Dia memeluk tubuh mungil. Zahry, Jumadil dan
semua anggota keluarga Zainuddin bangkit dari duduk. Mereka mengelilingi Septi
dan Jamaliah yang sedang memeluk Weni. Pasangan suami istri itu tak mampu
menahan tangis. Air mata seluruh anggota keluarga Zainuddin dan Rosmani yang
melihat momen mengharukan itu, ikut menetes.
Usai makan siang bersama
di rumah Zainuddin, Ros mohon diri. Tak lupa, dia membawa pulang Weni. “Kalau
mau ikut perasaan, kami tak ingin melepaskan lagi Raudha,” kata Septi.
***
SABTU, 28 Juni 2014.
Sekitar pukul 7:30 Wib, keluarga Septi bertamu ke rumah Sarwani, perempuan yang
selama ini merawat Weniati, di Pulo Kayu. Zainuddin dan istrinya juga ikut.
Sebelum meninggalkan rumah, ia menelpon Rosmani agar memberitahu Sarwani kalau
mereka ingin bertamu.
Selain Sarwani dan
Weniati, di rumah bantuan sebuah NGO asal Jerman bagi korban tsunami itu juga
tinggal dua putra Ida Maryam, putri sulung Sarwani. Sejak tahun 2009 silam, Ida
menetap di Takengon, ibukota Kabupaten Aceh Tengah, setelah menikah lagi dengan
warga setempat.
Untuk menghidupnya bersama
kedua cucu dan Weniati, Sarwani setiap pagi mencari lokan di pinggir laut dan
tambak dekat pantai di belakang rumahnya. Ia juga mengumpulkan barang-barang
bekas yang layak pakai, botol dan gelas minuman mineral untuk dijual pada
pengumpul yang dua pekan sekali datang ke rumahnya.
Sarwani menyambut hangat
kunjungan keluarga Septi dan Zainuddin. Apalagi Rosmani telah menceritakan
padanya jika ada keluarga korban tsunami yang dulu tinggal di Meulaboh mengaku
orang tua Weniati. Sarwani bahagia bila memang benar Septi dan Jamaliah adalah
orang tua kandung Weniati.
Dalam pertemuan penuh
kekeluargaan, Jamaliah menyampaikan keinginan mereka membawa pulang Weniati.
Tapi, Sarwani tak mengizinkannya karena ia masih ingin menjalani ibadah puasa
bersama. Dia bilang kepada Septi dan Jamaliah agar datang lagi usai Hari Raya
Idul Fitri 1435 Hijriah. Pasangan itu tak memaksa. Mereka membiarkan Weniati
tinggal bersama Sarwani dan dua cucunya.
Selama Ramadhan, keluarga
Septi sering datang ke Pulo Kayu, untuk bertemu putrinya. Mereka juga mengajak
aparat Desa Panggong untuk bermusyawarah dengan keluarga besar Sarwani. Selain
aparat Pulo Kayu, dari pihak keluarga Sarwani juga selalu hadir Rusmadi, mantan
Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) setempat.
Atas bantuan Zainuddin, acehkita.com bertemu Rusmadi. Tempatnya
di kedai Rosmani, lokasi pertama Zainuddin melihat Weniati, yang kemudian
diyakini sebagai Raudha. Rusmadi adalah seorang sosok yang tegas bicaranya. Ia
juga tinggal di Pulo Kayu. Rusmadi masih ada hubungan famili dengan Sarwani.
Rusmadi mengaku sering
melihat Weniati di desanya, sejak bocah itu dibawa Mustamir, menantu Sarwani,
dari Pulau Banyak pada 2006. Kepada Rusmadi dikatakan Weniati ialah anak yatim
piatu yang masih ada hubungan keluarga dengan Mustamir.
Seiring perjalanan waktu,
Rusmadi mengaku agak penasaran karena tidak ada seorangpun keluarga di Pulau
Banyak datang menjenguk Weniati. Dia merasa terganggu saat Mustamir dan
istrinya, Sarina Dewi, serta ketiga putra mereka memutuskan pindah ke Belawan,
pada 2009.
Kalau tak dibawa serta ke
Belawan, ujar Rusmadi, seharusnya Weniati diantar pulang ke Pulau Banyak, untuk
tinggal bersama dengan keluarganya. Tapi, dia ditinggalkan bersama Ida Maryan
dan Sarwani. Ida merupakan janda beranak dua.
Rusmadi mulai curiga
ketika secara kebetulan melihat Weniati diganggu seorang anak laki-laki dengan
panggilan “anak tsunami”, sekitar tiga tahun lalu. Mantan panglima sagoe GAM
itu mendengar jawaban Weniati, “Memang benar aku anak tsunami. Seharusnya kamu
jangan ganggu aku.”
Kemudian, pada Mei 2013,
seorang nelayan bernama Darman alias Gaipe, 32 tahun, datang menemui Rusmadi di
Pulo Kayu. Adik kandung Mustamir itu ingin berterima kasih kepada Rusmadi yang
telah membantu pembebasannya saat ditawan pasukan GAM, tahun 2000.
“Dia juga bertanya pada
saya, ‘Bagaimana kondisi anak tsunami yang dibawa abang saya?’,” tutur Rusmadi.
“Gaipe juga bilang dialah yang menyelamatkan Weni bersama abangnya di laut
ketika tsunami. Kemudian ia membawa kedua anak itu ke Pulau Banyak.”
Rusmadi mengaku saat
Darman bercerita tentang anak tsunami, ia tak terlalu menyimak. Ia baru
teringat pengakuan Darman ketika keluarga Septi datang ke Pulo Kayu. Meski
masih ada hubungan keluarga dengan Sarwani, tetapi Rusmadi sangat yakin kalau
Septi dan Jamaliah orang tua Weniati.
Namun, semua cerita
Rusmadi dibantah Darman. “Saya tak pernah ditangkap GAM. Saya memang kenal Bang
Rusmadi karena dia keluarga Kak Sari, tetapi tidak benar kalau dia bilang saya
pernah datang ke Pulo Kayu tahun lalu,” ujar Darman, yang kini menetap di Nias,
saat dikonfirmasi acehkita.com melalui
telepon, awal Desember lalu.
Darman juga membantah
pernah menyelamatkan anak korban tsunami. “Jika mayat yang hanyut di laut ada
ketemu dan saya langsung lapor ke polisi air,” katanya seraya menyebutkan bahwa
saat tsunami menerjang Aceh, dia sedang berada di Simeulue, mencari
tripang.
Sementara itu, Sarwani
mengisahkan, awal 2006, Mustamir melaut ke Pulau Banyak. Di sana, dia melihat
dua bocah kurang terurus. Dari penuturan warga setempat diketahui kedua anak
itu korban tsunami, yang orang tuanya sudah meninggal dunia dihumbalang
gelombang Samudera Hindia.
“Menantu saya telepon
istrinya, anak saya, Sari. Ia bilang di Pulau Banyak ada dua anak tsunami.
Mustamir tanya apa Sari mau merawat mereka. Tapi, Sari hanya mau merawat anak
perempuan karena mereka sudah punya tiga anak laki-laki. Lalu, dibawa pulanglah
anak perempuan itu. Anak laki-laki tinggal bersama keluarga nelayan di Pulau
Banyak,” jelas Sarwani.
Sejak dibawa, bocah itu
tinggal bersama keluarga Mustamir. Namun, Sarwani mengaku, sering bertemu bocah
yang sangat pendiam karena rumahnya dan rumah keluarga Mustamir berdekatan.
Malah anak itu sering makan dan tidur di rumah Sarwani.
“Kalau ditanya siapa
namanya, ia hanya diam saja. Makanya kami panggil dia kakak, kadang-kadang kami
panggil adik. Baru saat hendak masuk sekolah MIN, saya beri nama Weniati,” kata
Sarwani pada acehkita yang mendatangi rumahnya, akhir Oktober lalu.
Perempuan tua itu tak
mampu membendung air matanya saat berujar, “Weni sekarang telah melupakan saya
yang pernah merawatnya setelah dia bertemu dengan orang tuanya.”
Setelah beberapa kali
pertemuan yang melibatkan aparat Gampong Panggong dan Pulo Kayu disepakati
supaya Mustamir datang ke desa kelahiran istrinya, untuk menjelaskan latar
belakang Weniati. Apalagi dari pembicaraan melalui telepon, dia mengklaim
Weniati bukan korban tsunami, tapi anak yatim piatu yang masih ada hubungan
keluarga dengannya.
Mustamir yang tinggal di
kawasan Belawan, Sumatera Utara, bersedia datang ke Pulo Kayu, tapi tak punya
uang untuk ongkos transportasi. Seorang sepupu Jamaliah di Meulaboh mengirimkan
sejumlah uang kepada Mustamir. Meski sudah dikirim uang, Mustamir tetap tak
datang. Dia hanya mengutus istrinya, Sarina Dewi, ke Pulo Kayu.
“Uang yang dikirim tak
cukup untuk ongkos kami sekeluarga. Makanya hanya istri saya saja yang pulang,”
katanya ketika dikonfirmasi acehkita.com melalui
telepon, awal November silam.
Menurut Mustamir, Weniati
adalah anak yatim piatu yang dirawat Inagamasi, neneknya di Desa Ujung Sialit,
Kecamatan Pulau Banyak Barat, Aceh Singkil. Weniati punya dua orang adik,
laki-laki dan perempuan. Saat ke Ujung Sialit, pada awal 2006, untuk
mengunjungi kedua orang tuanya, Mustamir mengaku melihat tiga orang anak yang
dirawat Inagamasi. Lalu, perempuan miskin itu meminta Mustamir untuk membawa
seorang dari mereka.
“Saya telepon istri saya.
Saya bilang kalau di Ujung Sialit ada tiga anak yatim piatu yang dirawat kakak
ibu kandung saya. Saya tanya, apa dia mau jika saya bawa mereka ke Pulo Kayu.
Terus, istri saya jawab untuk membawa seorang anak perempuan saja karena kami
sudah punya tiga orang anak laki-laki,” jelas Mustamir, seraya menambahkan
kedua orang tua ketiga anak itu sudah meninggal dunia sebelum tsunami.
Cerita yang sama
disampaikan Sarina Dewi, 32 tahun, saat acehkita.com
mendatangi rumah sewanya di kawasan Belawan, akhir Oktober silam. Waktu
itu, suaminya telah pergi melaut. Biasanya, Mustamir baru pulang dua pekan
kemudian. Pasangan yang menikah pada Oktober 1999, tinggal di rumah sewa
dari kayu bersama tiga putra mereka.
Perempuan bertubuh mungil
itu menyambut ramah kunjungan acehkita.com.
Wawancara berlangsung di ruang tamu pemilik rumah. Dua anaknya bermain di
luar rumah. Seorang lagi sedang berada di sekolah.
Rumah dari kayu itu
menyatu dengan rumah yang disewa keluarga Mustamir: sebuah kamar ukuran 3 x 4
meter dan satu ruangan 3 x 3 meter yang dipakai untuk meletakkan pakaian dan
barang lainnya. Satu sepeda motor terparkir di situ.
“Weni itu adalah keluarga
suami saya. Bagaimana mungkin tsunami sudah 10 tahun, tapi masih ada keluarga
yang mengaku anak mereka masih hidup. Itu sama sekali tidak masuk akal,” tegas
Sarina, dengan suara berusaha menahan marah. “Kalau dulu kami ikut bawa Weni ke
Belawan, kejadiannya tidak akan seperti ini.”
Saat ditanya kenapa mereka
atau keluarganya di Ujung Sialit tak menjemput Weniati, Mustamir dan Sarina
mengaku mereka tidak punya uang. “Kami juga tak punya uang untuk melaporkan
masalah ini kepada polisi,” kata Mustamir. “Tapi, kami punya bukti di Ujung
Sialit kalau Weni bukan anak tsunami.”
Dia menambahkan bahwa adik
laki-laki Weniati kini tinggal di Nias bersama pamannya. Sedangkan adik
perempuannya masih tetap berada di Ujung Sialit bersama neneknya. “Boleh dicek
ke sana kalau Weni itu anak yatim piatu yang masih ada hubungan keluarga dengan
saya,” ujar Mustamir.
Pengakuan Mustamir
dikuatkan keterangan Kepala Desa Ujung Sialit, Okta Derita Gea, yang dihubungi acehkita.com, akhir Oktober lalu. Dia
memastikan, tidak ada anak korban tsunami yang selamat atau dibawa ke Ujung
Sialit.
Di perkampungan nelayan
yang penduduknya seribuan lebih jiwa itu, kata Okta, kalau ada suatu
kejadian, semua warga pasti mengetahui.
“Konon lagi kalau ada
korban tsunami yang dibawa atau diselamatkan, pasti akan heboh,” katanya,
seraya menambahkan, waktu tsunami menerjang, Ujung Sialit tidak terkena
dampaknya.
Namun, cerita Okta agak
berbeda dengan klaim Mustamir, terkait kedua orang tua Weniati. Menurut dia,
orang tua Weniati dan dua adiknya bukan telah meninggal dunia, tapi bercerai.
“Ayah mereka tinggal di Pekanbaru, Riau. Sedangkan ibunya sudah kawin lagi di
Nias,” jelas Okta.
Lalu, kenapa Sarwani
menyebutkan Weniati, anak korban tsunami? Ketika hal itu ditanyakan pada
Mustamir dan istrinya, mereka menjawab, “Mungkin ibu saya sudah dipengaruhi
oleh orang yang mengaku orang tua Weniati.”
Sarina mengaku, saat
pulang ke Pulo Kayu, ia telah menjelaskan tentang latar belakang orang tua
Weniati kepada keluarga Septi. Tapi, karena “didesak dan ada jaminan semua
pihak” akhirnya ia bersedia menyerahkan Weniati, setelah mendapat persetujuan
suaminya, pada keluarga Septi selama sepekan “untuk kepentingan tes DNA.”
Apalagi, waktu itu,
Sarwani ikut mendampingi Weniati ke Meulaboh pada 6 Agustus lalu. Perempuan tua
yang telah menganggap Weniati sebagai cucunya sempat tinggal bersama keluarga
Septi hampir dua pekan di Meulaboh.
“Tapi, hingga sekarang tes
DNA tak pernah dilakukan dan Weni telah diambil mereka,” ujar Mustamir.
***
MINGGU, 10 Agustus
2014. Sekitar pukul 17:30 Wib, Lana Bestari – seorang ibu rumah tangga
berusia 30 tahun di Kota Payakumbuh, Sumatera Barat – menghidupkan
televisi di rumahnya. Remote di tangannya dipencet beberapa kali, mencari
siaran menarik. Akhirnya, dia memilih TVOne. Sejumlah berita perkembangan
politik di Indonesia berlalu.
Beberapa menit kemudian,
berita reunifikasi keluarga korban tsunami dengan putrinya, Raudhatul Jannah
alias Weniati. Waktu itu, reporter TVOne sedang mewawancara Jamaliah. Sambil
menangis, perempuan di layar kaca mengaku masih berusaha mencari putranya yang
juga terlepas dari tangan suaminya, Septi Rangkuti, akibat dihumbalang
gelombang raya, hampir 10 tahun silam.
Berita yang disiarkan
secara langsung menarik perhatian Lana. Tiba-tiba, dia teringat seorang remaja
jalanan yang sering datang ke rumahnya untuk minta uang atau makanan. Wajah
remaja itu mirip Jamaliah. Lana agak ragu karena Jamaliah menyebut nama anaknya
Arif Pratama Rangkuti, sementara remaja jalanan itu dipanggil Ucok.
Dia meraih Blackberrynya.
Lana memotret wajah Jamaliah di layar kaca yang sedang menangis. Pikirannya tak
lagi fokus pada berita lain yang disiarkan stasiun televisi itu. Dia merasa
perlu bertemu Ucok.
Bagi Lana, Ucok tak asing.
Perkenalan anak tanggung itu dengan keluarganya terjadi pada suatu pagi tahun
2007. Hari itu, saat suaminya membuka warung internet (warnet) miliknya, dia
menemukan seorang anak, berpakaian lusuh dengan bekas luka besar yang belum
pulih di kepala bagian depan, tertidur di pintu toko.
Suami Lama mengajak anak
itu masuk. Setelah memberi makanan dan baju, suami Lana minta anak itu tidur
dalam warnet dan menetap saja di situ kalau tak ada tempat tinggal. Tapi,
menjelang siang, dia pergi tanpa memberitahu Lana dan suaminya.
“Dia tidak bisa bahasa
Indonesia. Logat bicaranya bukan logat Padang. Waktu kami tanya siapa namanya,
dia diam saja. Saat kami tanya kenapa kepalanya, dia bilang disiram air panas
oleh seseorang. Dia juga bilang diturunkan sopir truk dari Medan,” jelas Lana
saat diwawancara acehkita.com melalui
telepon, akhir Oktober lalu.
Karena tidak diketahui
namanya, keluarga Lana memanggil bocah itu, “Ucok”. Keesokan harinya, anak itu
datang lagi ke warnet. Setelah diberi makanan, dia pergi lagi. Ucok sering
datang sehingga keluarga Lana dekat dengannya. Saat Lana menutup usaha
warnetnya tiga tahun lalu, Ucok masih tetap datang ke rumahnya. Ucok akrab
dengan Lana, suaminya dan ketiga putra mereka.
Pernah suatu ketika
keluarga Lana menawarkan Ucok didaftarkan ke sekolah, tapi dia menolak.
Tampaknya, ia lebih memilih hidup di jalanan. Bila malam, Ucok tidur di pasar,
bersama anak jalanan lain. Dia juga sering tidur di kuburan.
Kehidupan sebagai anak
jalanan di Payakumbuh dilakoni Ucok selama tujuh tahun. Garis hidupnya mulai
berubah ketika Lana memperlihatkan foto yang dipotretnya dari layar televisi.
Saat Ucok melintasi di depan rumahnya, 11 Agustus lalu, Lana memanggilnya.
Ditunjukkan foto perempuan yang sedang menangis.
“Ucok memperhatikan foto
di BB saya. Lalu, dia bilang, ‘Mak’. Tentu saja, saya tak langsung
percaya ucapannya. Saya tanya nama ibunya. Dia menjawab ‘Liah’. Saya juga tak
bilang padanya kalau wanita itu sedang mencara anaknya yang hilang waktu
tsunami,” tutur Lana.
Ternyata Liah adalah nama
panggilan Jamaliah. Ketika ditemui acehkita.com,
ia mengaku beberapa kawannya di Meulaboh sebelum tsunami memanggilnya dengan
sebutan Liah.
Mendengar pengakuan Ucok,
Lana coba menyelidiki. “Saya tanya dia, ‘Kalau begitu kamu sebenarnya asalnya
dari mana?. Tiba-tiba Ucok menangis sambil berujar, ‘Gelombang besar’,” ungkap
Lana.
Sesaat kemudian, perempuan
yang selalu mengenakan hijab itu menghubungi seorang familinya yang bekerja di
TVOne, untuk mendapatkan nomor kontak reporter stasiun televisi itu di Padang.
Lalu, diperoleh nomor Donal Caniago, reporter TVOne di Padang. Setelah Donal
datang ke rumah Lana, dia memotret Ucok dan mengunggah di laman facebooknya.
Beberapa pengguna facebook
di Aceh sempat menshare foto Ucok. Pada saat bersamaan, keluarga Septi
terus mencari informasi keberadaan Arif. Ada yang bilang Arif “masih” di
Pulau Banyak. Ada juga informasi dia berada di Nias.
Keyakinan Jamaliah bahwa
putranya masih hidup berkat pengakuan Raudha, setelah mereka membawa gadis
cilik itu ke Meulaboh untuk tinggal bersama. “Suatu malam, Raudha bilang kepada
saya kalau dia sempat tinggal di pulau dengan abangnya, Arif,” jelas Jamaliah.
Donal juga mengirim foto
Ucok ke rekannya di Meulaboh untuk diperlihatkan pada keluarga Septi. Melihat
wajah gelap Ucok dengan rambut panjang acak-acakan, Jamaliah dan Septi agak
sedikit ragu.
Tapi, Jamaliah mulai yakin
setelah melihat foto lain: Ucok duduk di samping Donal. Cara duduk berjongkok
dengan bagian depan kaki sedikit dibuka sangat mirip dengan Arif kecil.
Jamaliah menelpon Lana. “Apakah Ucok ada bekas luka di hidung sebelah kanan?”
tanyanya. Lana menjawab, “Iya, ada.”
Menurut Jamaliah, ketika
berusia tujuh tahun, Arif sempat terjatuh saat hendak mengambil bola. Hidupnya
mengalami luka, yang meninggalkan bekas.
Ketika Ucok pamit, Lana
memberikan sejumlah uang. Dia minta Ucok memangkas rambutnya. Keesokan
hari, Ucok kembali datang ke rumah Lana. Perempuan itu segera menghubungi
keluarga Septi. Begitu mendengar suara Jamaliah, Ucok bilang, “Mak, cepat
datang, jemput aku. Aku mau pulang ke Aceh.”
“Andai saya punya sayap,
saya akan segera terbang ke sana untuk menjemput Arif,” ujar Jamaliah.
Berkat bantuan sejumlah
uang dari familinya, Septi bersama istrinya dan tiga anak mereka serta adik
kandung Jamaliah, Samsul, menyewa sebuah mobil. Mereka berangkat dari Meulaboh,
sekitar pukul 3:00 dinihari. Selama dalam perjalanan, mereka hanya berhenti
tiga kali untuk makan. Rombongan itu tiba di Payakumbuh, Senin dinihari (18 Agustus
2004) setelah menempuh perjalanan lebih dari 24 jam.
Pagi hari, Jamaliah tak
sabar menghubungi Lana untuk mengabarkan mereka telah tiba di Payakumbuh.
Tetapi, Lana memberikan informasi menyesakkan dada. Ucok “hilang”.
Di pasar yang biasa
dijadikan tempat nongkrongnya, ia tak ada. Bersama sejumlah wartawan, Lana
sempat meminta bantuan polisi untuk mencari Ucok. Hampir setengah hari mereka
mencari ke tempat-tempat anak jalanan mangkal. Ucok tetap tak ditemukan. Baru
menjelang zuhur, Ucok ditemukan dekat kuburan. Ternyata, malam itu dia tidur di
situ karena ada perselisihan dengan seorang anak jalanan.
“Saya sudah minta Ucok
tidur di rumah saya malam itu karena orang tuanya akan datang, tapi dia tak
mau,” tutur Lana, mengisahkan upaya pencarian Ucok menjelang pertemuan dengan
Septi dan Jamaliah.
Begitu ditemukan, Ucok
dibawa ke rumah Lana. Sejumlah tetangga Lana dan para wartawan juga hadir di
situ. Ketika mobil yang membawa keluarga Septi berhenti di depan rumah, Ucok
segera lari keluar. Dia memeluk Jamaliah dan Septi. Menurut Jamaliah,
pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Ucok, “bagaimana sepeda saya.”
Ternyata sebelum tsunami, Arif punya sepeda saat tinggal di Meulaboh.
“Semua tetangga saya yang
melihat momen mengharukan itu menangis. Saya juga menangis,” kata Lana.
Kemudian, mereka semua
dijamu makan siang di rumah Lana. Ucok duduk di samping Jamaliah. Mereka
memilih duduk di lantai. Ia minta disuap. Setelah makan, Jamaliah dan keempat
anaknya – Zahri, Raudha, Jumadil dan Arif alias Ucok – duduk bersama di sebuah
kursi tamu. Sedangkan, Septi duduk sendiri di kursi lain. Lalu, tanpa sungkan,
Ucok menyulut sebatang rokok.
Sebelum meninggalkan rumah
Lana, sore itu, Ucok sempat mengatakan kepada perempuan itu bahwa ia siap
pulang ke Aceh. “Dia bilang, ‘Saya sudah menemukan keluarga saya dan saya
sekarang sangat senang,” tutur Lana. “Selama tujuh tahun Ucok di Payakumbuh,
itulah kalimat paling jelas yang dia ucapkan kepada saya.”
Kemudian, keluarga Septi
pergi ke Markas Polisi Resort Payakumbuh, untuk melaporkan bahwa mereka telah
menemukan anak mereka yang hilang waktu tsunami melanda Aceh. Tanpa istirahat,
malam itu juga mereka memutuskan untuk pulang ke Meulaboh, malam itu juga.
Ucok tidak membawa
apa-apa, selain baju di badan. Tetapi, ia punya sesuatu. Namanya kembali
dipanggil Arif. Dia juga memperoleh kasih sayang keluarga yang tak pernah
dirasakannya selama terpisah hampir 10 tahun.
Begitu tiba di Meulaboh,
mereka singgah ke rumah makcik Jamaliah, tempat sementara keluarga itu tinggal
setelah membawa pulang Raudha. Tetapi, Arif protes karena ia ingin pulang ke
Aceh. Waktu dijelaskan bahwa dia sudah tiba di Aceh, Arif tetap protes.
“Ketika kami tiba di
Meulaboh, saya melihat perubahan pada Arif. Sejak saat itu, dia tidak pernah
merokok lagi,” kata Septi.
Sejam kemudian, Samsul –
adik Jamaliah yang ikut ke Payakumbuh — pamit, pulang ke rumahnya. Arif ingin
ikut. Jamaliah dan Septi mengizinkan. Begitu mobil berhenti di belakang rumah
Samsul, Arif segera turun dan lari masuk ke rumah.
“Ini baru Aceh. Mana
sepeda saya,” ujarnya.
***
SELASA, 11 November 2014. Sekitar pukul 16:00 Wib, mobil yang membawa
Septi, Jamaliah, Zahry, Arif, Raudha, dan Jumadil meninggalkan Meulaboh. Dalam
mobil itu terdapat seorang wartawan Korea, yang bersedia membiayai kepulangan
mereka. Setelah menempuh perjalanan melelahkan, mereka tiba di desa kelahiran
Septi, Kamis dinihari.
“Saat bertemu dengan seorang adik saya yang datang ke rumah, Arif
langsung bertanya dimana monyet,” jelas Septi kepada acehkita.com yang mengunjungi mereka di Desa Paringgonan, Kecamatan
Ulu Barumun, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara, awal Desember lalu.
Beberapa bulan sebelum tsunami meluluhlantakkan Aceh, saat Hari Raya
Idul Fitri 1425 Hijriah, Septi dan keluarganya pulang kampung. Kala itu, di
rumah Edi Azhari Rangkuti – adik ketiga Septi – ada seekor monyet.
“Ternyata Arif masih ingat monyet itu padahal sudah 10 tahun lalu.
Monyet itu tentu saja sudah lama mati,” kata Edi.
Setelah seminggu keluarga abangnya di Paringgonan, Edi menangkap seekor
anak monyet dari hutan dekat kampung. Arif terlihat bahagia bermain dengan
monyet. Saat acehkita.com memintanya,
Arif berusaha mempertahankannya.
“Tidak boleh. Ini punya Arif,” ujarnya, sambil mendekap monyet kecil
yang diikat di samping rumahnya.
Jamaliah menyatakan bahwa salah satu alasan mereka pulang ke Paringgonan
karena anak-anak tak mau bersekolah di Meulaboh. Raudha telah didaftarkan di
sebuah SMP. Sedangkan, Arif dimasukkan ke Sekolah Luar Biasa (SLB). Tapi,
mereka hanya bersedia sekolah sebulan. Setelah itu, keduanya tak mau lagi
sekolah.
“Tapi begitu tiba di sini, keduanya ingin segera sekolah. Mungkin mereka
lihat Jumadil setiap pagi pergi sekolah. Makanya, Senin atau empat hari setelah
kami tiba di kampung, keduanya kami mendaftarkan ke SD. Raudha diterima di
kelas lima, sementara Arif duduk di kelas tiga,” kata Septi.
Siang itu, Rabu (3 Desember 2014) saat acehkita.com
sedang
mewawancarai Septi dan Jamaliah, Raudha pulang sekolah, yang berjarak sekitar 2
kilometer dari rumah barunya. Gadis cilik itu mengumbar senyum saat melangkah
ke pintu. Sebelum masuk, ia memberi salam ke seisi rumah. Usai mencium
tangan kedua orangtuanya, ia masuk kamar, mengganti pakaian sekolah: baju putih
dipadu rok merah dan jilbab putih.
Raudha kemudian duduk di samping ayah dan ibunya serta Jumadil di ruang
keluarga rumah berukuran 6 x 6 meter yang dibangun Septi, dua tahun silam.
Hanya ada dua kamar di rumah berdinding papan itu. Lalu, Raudha bercerita
pengalamannya di sekolah tentang sulitnya mata pelajaran, gurunya yang baik dan
teman-teman barunya.
Rumah itu terletak hanya sepelemparan batu dari lokasi rumah darurat
yang dibangun warga Paringgonan ketika keluarga Septi pulang dua bulan setelah
tsunami. Hingga kini, bekas pertapakan rumah itu masih tersisa lantai semen
yang telah retak dan mulai ditumbuhi semak belukar.
Sekitar 15 menit berselang, Arif yang memakai baju putih dan celana
panjang merah dengan tas ranser masih baru di bahu, bersua di pintu. Tanpa
memberi salam, dia langsung masuk dan duduk di antara keluarga yang sedang
tertawa lepas, mendengar lelucon Jumadil dan Raudha.
Dengan logat agak gagap, remaja yang seharusnya duduk di bangku Sekolah
Menengah Atas (SMA) bercerita tentang sejumlah anak-anak di sekolahnya yang
berkelahi. “Saya leraikan mereka. Saya bilang kepada mereka berkelahi
dosa,” ujarnya.
Septi dan Jamaliah hanya tersenyum mendengar cerita Arif. Lalu, Jamaliah
menyuruh Arif mengganti baju sekolah. Arif coba berkilah, tapi tatapan mata
Septi dengan masih tersenyum membuatnya segera masuk ke kamar. Sejurus
kemudian, Arif keluar dan kembali bergabung dengan orangtua dan kedua adiknya.
Mereka semua duduk di tikar yang digelar di lantai semen, tanpa keramik.
Tidak ada kursi tamu di ruang keluarga. Sebuah televisi 20 inci terletak dekat
dinding. Di sampingnya, berdiri kulkas semeter. Mereka larut pembicaraan
santai. Raudha dan Arif seolah saling berlomba menceritakan pengalaman di
sekolah. Tiba-tiba putra sulung mereka, Zahry pulang. Ia bergabung, duduk di
lantai.
Keceriaan Raudha hari itu sangat berbeda dengan kesaksian Tuti Erlinda
yang pernah menjadi gurunya saat duduk di kelas dua MIN Pawoh Padang. Kepada acehkita.com yang menemuinya di sekolah, akhir Oktober lalu, Tuti mengaku
sempat beberapa kali menggali informasi latar belakang Weniati.
“Anaknya sangat pendiam. Kalau ditanya, dia lebih banyak tidak
memberikan jawaban. Kalaupun ada suara keluar dari mulutnya, suaranya sangat
kecil dan
sering tak terdengar,” ujar Tuti.
Perubahan sikap Raudha berbeda jauh dengan saat dia dibawa keluarganya
ke Banda Aceh, awal Agustus lalu, setelah mereka menemukan putrinya. Ditanya
wartawan tentang pengalaman hidupnya selama 10 tahun terakhir waktu itu, Raudha
hanya menjawab satu kata, lalu diam.
“Sekarang Arif dan Raudha bagai raja dan ratu di rumah ini. Keduanya
paling banyak ngomong. Saya sangat senang akhirnya kami berkumpul lagi,” tutur
Zahry.
Jamaliah bangkit dari duduk, melangkah ke dapur, beralaskan tanah. Tanpa
diminta, Raudha ikut ibunya. Ibu dan putrinya sibuk di dapur. Usai memasak,
Jamaliah dan Raudha membawa nasi dan telur goreng ke ruang keluarga. Mereka
santap siang. Menunya telur mata sapi dan sayur bening.
Bagaimana Septi dan Jamaliah menyikapi klaim Mustamir yang menyebutkan
Raudha bukan anak tsunami? Pasangan suami itu terlihat sangat menyayangi
keempat anaknya, dengan sepenuh hari. Mereka sangat yakin gadis cilik itu
adalah putri mereka yang terpisah saat tsunami meluluhlantakkan Meulaboh.
Sebelum memutuskan pulang ke Paringgonan, mereka lebih dulu melaporkan
ke Mapolres Aceh Barat. Dengan begitu kalau ada persoalan di kemudian hari,
mereka siap datang ke Meulaboh.
“Waktu pertama kali menemukan Raudha, kami juga lapor ke polisi.
Buktinya ini surat dari polisi Aceh Barat. Waktu menemukan Arif, kami juga
melapor ke Polres Payakumbuh,” tutur Jamaliah seraya memperlihatkan kedua
lembar surat dari kepolisian.
Septi menambahkan, alasan mereka tak melakukan tes DNA saat membawa
Raudha dari Sarwani karena tak punya uang. Apalagi polisi menyatakan tes DNA
baru bisa dilakukan bila ada komplain dari keluarga lain. Namun hingga mereka
pulang ke Paringgonan, tidak ada satupun keluarga di Aceh yang
mempersoalkannya.
“Sekarang pun kami siap untuk tes DNA bila yang komplain seperti dikatakan
polisi. Kalau tak ada komplain, untuk apa tes DNA karena kami berdua sangat
yakin Raudha adalah anak kami yang hilang waktu tsunami,” ujar Jamaliah.
Septi curiga Mustamir tak berani datang menjumpai keluarganya saat
mereka tinggal selama tiga bulan lebih di Meulaboh karena mereka telah
menemukan Arif, yang diyakini mengalami penyiksaan. Di bagian kepala dan
kakinya ada bekas luka. Menurut Arif, luka di kepalanya karena “disiram air
panas oleh mami.” Tapi, tak jelas siapa yang melakukannya.
Saat dikonfirmasi, Mustamir mengaku tak pernah kenal Arif. Mustamir
tetap bersikeras Weniati, yang kini telah berubah nama menjadi Raudhatul
Jannah, anak sepupunya.
“Nenek Weni pernah datang ke rumah orang tua saya. Nenek bilang, ‘tega
kali si Mustamir menjual Weni. Seharusnya, kalau dia tak mau merawatnya lagi,
diantar kemari’,” ujar Darman. “Sekarang, abang saya tidak berani lagi pulang
ke Ujung Sialit.”
Septi dan Jamaliah tampaknya tak terlalu menghiraukan klaim Mustamir dan
Darman. Yang mereka lakukan saat ini adalah memberi kasih sayang kepada keempat
anaknya, terutama Raudha dan Arif yang membutuhkan perhatian lebih.
Setelah makan siang, Arif bergegas keluar rumah. Bersama beberapa kawan
barunya, dia hendak mencari durian jatuh di kebun seputaran desa. “Itulah Arif.
Dari dulu tak pernah betah di rumah. Dia juga banyak kawan waktu kami tinggal
di Meulaboh sebelum tsunami,” jelas Jamaliah.
Menjelang petang, Septi, Jamaliah dan ketiga anaknya pergi ke air terjun
dari pegunungan di ujung desa. Setiba di situ, ternyata Arif telah lebih dulu
mandi. Tanpa menunggu persetujuan dari kedua orang tuanya, Raudha dan Jumadil
segera turun ke kolam, bergabung dengan Arif. Septi, Jamaliah dan Zahry
memperhatikan keceriaan mereka, sambil tersenyum bahagia.[]
Kisah Bocah Papan Hanyut
Reviewed by theacehglobe
on
December 31, 2014
Rating:
No comments: