OLEH NURDIN HASAN
Muhammad Alhamda, pengacara dari LBH Banda Aceh yang mengunjungi anak punk di SPN Seulawah, hari Jumat itu, mengatakan bahwa pendekatan yang dilakukan pemerintah keliru karena tidak mungkin mengubah pilihan hidup seseorang.
Seulawah, TAG –
Wajahnya tertunduk di antara barisan remaja berpakaian polisi di Sekolah
Kepolisian Negara (SPN) Seulawah, Aceh Besar. Baju berwarna coklat yang
dikenakannya, terbilang longgar untuk ukuran tubuh mungilnya. Begitu pula
dengan celana coklat pekat. Topi rimba yang dikenakan seolah menenggelamkan
kepalanya.
Aris
Munandar nama remaja itu. Usianya baru 15 tahun. Masih kelas satu di sebuah SMA
di Medan, Sumatera Utara. Di barisan itu, remaja yang lebih senang disapa Ayi terlihat
paling muda. Tubuhnya juga paling mungil. Makanya, seragam polisi yang
dikenakan agak kebesaran di tubuhnya. Dia tak banyak omong. Jika ditanya, hanya
menjawab singkat.
Remaja
tanggung ini “masuk” SPN Seulawah bukan lantaran sedang mengikuti pelatihan
untuk menjadi seorang anggota Polisi Republik Indonesia (Polri). Sejak Selasa
(13/12) lalu, Ayi “dipaksa menetap” di sini selama sepuluh hari, setelah polisi
menangkap 65 anak punk saat menggelar konser musik di Banda Aceh, Sabtu malam
pekan silam. Ayi termasuk seorang di antara anak punk yang “terjaring”.
Gara-gara
“dihukum” menjalani pembinaan di SPN, Ayi tak bisa bersekolah. Sudah sepekan,
dia meninggalkan bangku sekolah setelah memutuskan untuk memenuhi undangan
komunitas punk Aceh dalam acara penggalangan dana buat panti asuhan dan anak
yatim melalui konser musik. Ya, malam itu, saat ditangkap, Ayi dan
teman-temannya tengah berada di konser musik rock bertajuk “Aceh for Punk” di
Taman Budaya, Banda Aceh.
Ayi
bersama 64 punkers lain sempat mendekam di balik jeruji besi Markas Polisi
Resort Kota (Mapolresta) Banda Aceh. Di sana, mereka ditempatkan dalam bui-bui
kecil, berdesak-desakan. Baru pada Selasa (13/12), mereka diboyong ke SPN
Seulawah, 62 kilometer arah timur Kota Banda Aceh.
Berada
di sekolah polisi, perasaan Ayi campur-aduk. “Antara senang dan sedih,” katanya
saat dijumpai siang itu, di antara barisan berseragam coklat. “Senang karena
ada ilmu. Sedih karena saya tidak bisa bersekolah.”
Sebenarnya,
Ayi datang ke Banda Aceh telah mendapat izin dari orangtuanya di Medan. Tetapi
sejak ditangkap, dia tak bisa berkirim kabar kepada orangtuanya. Inilah yang
membuat Ayi makin sedih. Apalagi, sejak alat komunikasi miliknya disita polisi
(untuk sementara waktu).
“Saya
tidak tahu bagaimana reaksi orangtua kalau tahu saya dibawa ke sini,” kata Ayi.
Raut wajahnya seperti menyimpan kegelisahan mendalam. “Saya mau menghubungi
orangtua, tapi bagaimana caranya?”
![]() |
Aris Munandar |
Selama
berada di sekolah untuk mencetak polisi, Ayi mengaku mendapat ilmu
baris-berbaris dan tatakrama. Saban hari mereka diwajibkan mengikuti
“pendidikan” instan mengenai dua hal ini. Inilah yang membuat Ayi merasa senang
berada di sini.
Namun,
selepas 10 hari “menimba” ilmu di SPN tak lantas membuat Ayi melupakan jalur
kehidupan yang diambil sebelum ditangkap polisi. Dia tetap akan menjadi seorang
punker.
“Saya
senang menjadi punker,” ujar remaja ini. “Jadi saya tetap seorang punker.”
Wakil
Walikota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal, yang selama ini sering ikut
operasi razia terhadap pelanggar syariat Islam, menyebutkan keberadaan
komunitas punk telah “meresahkan masyarakat.” Dia juga mengaku pihaknya akan
terus memburu sisa-sisa anak punk yang berhasil lolos saat penyergapan Sabtu
(10/12) malam lalu.
“Keberadaan
komunitas punk telah sangat meresahkan dan mengganggu kehidupan masyarakat
Banda Aceh,” katanya. “Ini adalah penyakit sosial baru di Banda Aceh. Jika
terus dibiarkan, pemerintah harus mengeluarkan biaya lebih banyak lagi untuk
menangani mereka.”
Menurut
politisi Partai Persatuan Pembangunan itu, tempat-tempat publik di Banda Aceh
seperti Taman Sari, Museum Tsunami dan lokasi lain yang sering dijadikan tempat
kumpul-kumpul komunitas punk menjadi jorok karena “anak-anak remaja tersebut
tak mandi berhari-hari dan pakaian mereka kumal.”
“Moral
mereka juga hancur. Laki-laki dan perempuan bergabung bersama dan itu
bertentangan dengan syariat Islam,” tutur Illiza, yang juga ikut dalam operasi
penangkapan anak-anak punk saat menggelar konser musik di Taman Budaya.
Selain
komunitas punk tidak diterima Pemerintah Kota (Pemko) Banda Aceh, menurut
Illiza, alasan penggerebekan konser musik itu karena panitia konser
memanipulasi izin. Dalam surat yang diajukan ke Majelis Permusyawaratan Ulama
(MPU), disebutkan bahwa penyelenggara kegiatan berasal Komunitas Anak Aceh.
Ketika
digerebek, kata Illiza, polisi menemukan ganja kering dan minuman keras.
“Kasian anak-anak kita hancur moralnya. Makanya, kita tidak boleh membiarkan
komunitas punk tumbuh di Banda Aceh,” katanya. “Masyarakat Banda Aceh sangat
mendukung langkah yang kita lakukan untuk membina anak punk di SPN Seulawah.”
Illiza
menambahkan, pihaknya terus melancarkan razia untuk memburu anak punk yang
berkeliaran di ibukota Banda Aceh. Selanjutnya, dibina di SPN Seulawah. Jumlah
mereka diperkirakan mencapai 200 orang.
“Kita
tetap lakukan razia. Kalau ada yang tertangkap akan dibawa ke SPN, karena
dengan pembinaan di sana diharapkan mereka bisa berubah,” katanya.
Illiza
mengaku waktu 10 hari tak cukup untuk membina anak punk. Tapi, untuk tahap
pertama anak punk dari luar Aceh dibina 10 tahun dan setelah itu akan
dikembalikan ke daerahnya masing-masing.
“Bergabung
dengan komunitas punk jelas-jelas merusak mental dan akhlak mereka. Selain itu,
juga tidak sesuai dengan syariat Islam yang diberlakukan di Aceh,” katanya.
“Aceh ini, daerah syariat. Jadi, siapa pun harus ikut aturan yang
berlaku di Aceh. Komunitas punk melanggar syariat Islam.”
***
JUANDA,
seorang punker. Dia berhasil lolos saat penggerebekan polisi. Mahasiswa sebuah
universitas ternama di Banda Aceh ini telah aktif di komunitas punk ‘Tanggul
Rebel’, sejak tiga tahun silam. Setelah operasi penangkapan itu, pemuda berusia
20 tahun yang di kalangan teman-temannya dipanggil “Lowbet” terpaksa
menanggalkan sementara pernak-pernik punknya dan tiarap karena razia memburu
sisa-sisa punk masih gencar dilakukan.
“Kami
bukan kriminal, tetapi kami dipukul seperti binatang saat ditangkap padahal kami
tak membuat onar,” katanya saat diwawancarai, Kamis (15/12).
Sejak
itu, Juanda mengaku telah membaca beberapa aturan hukum yang mungkin mereka
langgar. Tapi, dia tak menemukan satupun aturan hukum yang berlaku di Aceh
telah mereka kangkangi. Dia juga bilang sedang melobi beberapa LSM, untuk
membebaskan rekan-rekannya dari “pusat pembinaan” SPN Seulawah. Juanda mengaku,
bila diperlukan akan menempuh jalur hukum terhadap polisi dan Pemerintah Kota
Banda Aceh yang telah menangkap komunitas punk.
“Kami
dituduh melanggar syariat Islam yang berlaku di Aceh. Qanun mana yang telah
kami langgar? Tolong tunjukkan, karena tak ada satu pun Qanun yang kami
langgar,” katanya, seraya menambahkan komunitas punk hanya ingin
mengekspresikan kebebasan dengan caranya sendiri.
Konser
musik bertajuk “Punk for Aceh” di Taman Budaya, kata dia, digelar sebagai wujud
kebangkitan kembali komunitas punk Aceh setelah sempat vakum akibat konflik
bersenjata. Panitia mengundang komunitas punk dari beberapa daerah lain di
Indonesia seperti Lampung, Jakarta, Bekasi, Jambi, Batam, Pekanbaru, Medan,
hingga Bali. Komunitas punk telah ada di Aceh, sejak tahun 1980-an.
Tetapi,
konser itu berubah jadi petaka. Polisi bersama Satuan Polisi Pamong Praja dan
Wilayatul Hisbah (Satpol PP & WH) membubarkan dan menangkap pengunjung yang
mayoritas anak punk. 65 punkers, termasuk enam perempuan, ditangkap dan sisanya
berhasil meloloskan diri, termasuk Juanda. 36 di antara mereka yang tertangkap
berasal dari luar Aceh.
“Saya
sangat sedih melihat kawan-kawan dipukul dengan pentungan, tapi saya tidak bisa
berbuat apa-apa untuk membantu mereka. Rambut kawan-kawan dijambak. Mereka
diseret seperti penjahat dan dimasukkan ke truk,” katanya.
Setelah
tiga malam mendekam di sel Mapolres Kota Banda Aceh, semua anak punk diangkut
ke SPN Seulawah. Sebelum pemberangkatan pada Selasa sore, Kapolda Aceh, Irjen
Pol Iskandar Hasan, mengatakan, para punkers itu akan “dibina”.
“Nanti
ada acara tradisi. Pertama, acara potong rambut. Kedua, cebur kolam. Yang
wanita potong gaya polwan (polisi wanita),” kata Iskandar kepada wartawan.
“Setelah itu ganti pakaian busuk. Kemudian kita ganti dengan pakaian lain yang
bagus. Kita kasih sikat gigi, odol, sabun, sampo, sandal, alat sembahyang.
Semua kita berikan.”
Kapolda
Aceh menyatakan, pembinaan yang dilakukan di SPN Seulawah tak melanggar HAM,
tetapi “mengembalikan mental dan moral” para punkers. “Saya ingatkan
(pembinaan) tidak melanggar HAM. Kita tetap orientasi membina masyarakat,
membina bangsa kita. Ini bangsa kita juga kan? Bukan bangsa India kan?,”
katanya.
Langkah
polisi mendapat dukungan dari Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA). Sekretaris
Jenderal HUDA, Tgk Faisal Ali, memberikan apresiasi kepada Kapolda Aceh yang
telah bersedia “membina” anak punk di SPN Seulawah karena langkah itu akan
“mengembalikan mereka ke jalan hidup yang sebenarnya sesuai anjuran agama.”
“Mereka
perlu diperhatikan, diberi arahan agar bisa hidup teratur dan layak. Anak-anak
punk adalah aset bangsa yang memiliki tanggungjawab bersama untuk dibina.
Mungkin selama ini cara hidup mereka menyimpang,” kata Faisal.
Faisal,
yang juga Ketua Nahdatul Ulama (NU) Aceh, menyesalkan sikap sejumlah lembaga
swadaya masyarakat (LSM) yang menyoroti seolah tindakan polisi membina anak
punk melanggar HAM.
“Tidak
ada pelanggaran HAM oleh polisi,” katanya, seraya menambahkan “pembinaan”
seperti itu bisa dijadikan contoh untuk mengatasi masalah remaja lain, seperti
pengguna narkoba.
Dia
juga meminta Pemerintah Aceh untuk ikut serta dalam pembinaan generasi muda agar
tak terjerumus ke perbuatan melanggar syariat Islam, yang diberlakukan di Aceh
sejak 2001 silam.
“Saya
minta aparat pemerintah dan kepolisian tidak perlu terpengaruh oleh pihak
manapun dalam upaya kita menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan hukum yang berlaku,”
tambahnya.
Namun,
Evi Narti Zain, Direktur Eksekutif Koalisi NGO HAM Aceh, memprotes apa yang
dilakukan polisi untuk “membina” punkers di SPN Seulawah, karena langkah itu
dianggap tidak layak dan terkesan mengedepankan pendekatan kekerasan.
“Patut
dipertanyakan yang mau dibina itu apa? Menurut saya, langkah polisi aneh karena
punk itu tidak salah,” katanya seraya menambahkan, kalau ada punkers terlibat
narkoba, mabuk atau menggangu masyarakat, maka ditindak sesuai hukum.
Perempuan
aktivis itu tidak yakin pendekatan “membina” di SPN Seulawah akan menyelesaikan
masalah. “Jika membina mental dan karakter mereka, kenapa tidak sekalian
dimasukkan ke pesantren atau panti rehab sosial,” kata Evi.
Begitu
tiba di SPN Seulawah, para punkers itu dibagi dalam dua kelompok. Di sini,
sejumlah polisi telah siap dengan gunting dan alat pencukur rambut di tangan.
Satu persatu rambut punkers laki-laki, dicukur habis. Kepala mereka plontos
sudah. Sedangkan, rambut punkers yang perempuan dipotong seperti model polisi wanita.
Lalu, seluruh punkers dicebur dalam kolam.
Foto-foto
mereka saat dicukur rambut dan mandi kolam dengan kepala plontos di bawah
pengawasan polisi, menghiasi berbagai media internasional. Media asing juga
heboh memberitakan kasus itu. Reaksi pun datang bertubi-tubi dari komunitas
punk di berbagai belahan dunia, yang “mengecam” tindakan polisi.
Malahan,
ada satu website yang khusus menggalang petisi untuk pembebasan anak punk yang
sedang menjalani “pembinaan”. Sementara, sejumlah punkers Rusia melancarkan
aksi protes dengan mencoret-coret dinding Kantor Kedutaan Indonesia di Moskow.
Solidaritas juga datang dari komunitas punkers Jakarta. Mereka menggelar aksi
protes di depan kantor penghubung Pemerintah Aceh di kawasan Menteng, Sabtu
(17/12).
Reaksi
berlebihan sejumlah kalangan di luar negeri berbeda jauh ketika beberapa anak
punk digaruk Satpol PP & WH, Februari silam. Kala itu, mereka yang
ditangkap juga dicukur habis rambutnya, tetapi tidak ada pemberitaan di media
asing.
Saat
bertemu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Kamis (15/12), Kapolda Aceh
mengaku ditelepon Duta Besar Jerman dan Perancis yang mempertanyakan
penangkapan punkers. Ia heran dengan besarnya perhatian negara asing atas kasus
penangkapan anak punk di Aceh.
Menurut
Iskandar, kedua duta besar negara sahabat itu mempersoalkan kenapa para punkers
diceburkan ke dalam kolam. “Saya bilang ini tradisi. Saya saja waktu masuk
Akpol dulu juga diceburkan ke kolam,” ujarnya, disambut gelak tawa sejumlah
anggota DPRA.
Tetapi,
sejauh itu belum ada komentar dari kalangan anggota dewan menyangkut
“pembinaan” yang dilakukan di SPN Seulawah.
Selama
kegiatan pembinaan, punkers diharuskan bangun pagi pukul 5:00 dan baru
diperbolehkan untuk tidur pada pukul 22:00 Wib.
M.
Fauzie, seorang pembina, mengatakan, selama berada di SPN, komunitas punk
dibina mental spiritual, akhlak, dan perilaku. Jumat pagi, tim dari MPU khusus
datang ke SPN untuk memberikan siraman rohani kepada anak punk yang rata-rata
berusia 20-an tahun itu.
“Sedangkan
untuk mereka yang nonmuslim, kita sediakan pendeta,” ungkap Fauzie. “Selama di
sini, kita juga mengajarkan bangun pagi tepat waktu, cara makan, disiplin, dan
sopan santun.”
Tetapi,
Juanda melihat “pembinaan” di SPN Seulawah sebagai tindakan tidak manusiawi
karena, menurut dia, mengedepankan pendekatan militeristik. “Kalau memang ingin
membina anak punk kenapa tidak dilakukan Dinas Sosial atau pesantren? Apa salah
mereka sehingga perlu dibina/ Mereka hanya ingin mengespresikan kebebasannya,”
katanya.
“Saya tidak bisa terima kalau dibilang melanggar syariat. Di hotel-hotel
yang jelas ada perbuatan melanggar syariat, kenapa tidak pernah digerebek?
Begitu juga di café-café pinggir jalan banyak pekerja seks komersial yang
berkeliaran tengah malam, kenapa tak ditangkap? Apa karena mereka membayar
pajak.”
***
DARI
kejauhan, sayup-sayup terdengar lantunan ayat suci Al-Quran melalui pengeras
suara Masjid Babuttaqwa. Komandan peleton memberikan aba-aba, untuk bersiap.
Ayi dan para punkers lain mengambil posisi siaga, sebelum akhirnya melangkahkan
kaki, meninggalkan lapangan di atas bukit.
Siang
itu, punkers cowok beragama Islam akan melaksanakan ibadah salat Jumat perdana
di Masjid Babuttaqwa, yang terletak di luar kompleks SPN Seulawah. Dari barak,
masjid hanya terpaut 400 meter. Tetapi, para pembina tak membolehkan mereka
jalan kaki menuju masjid.
Mengenakan
baju koko dan berkain sarung, mereka diangkut menggunakan dua truk polisi. Di
masjid, cukup mudah mengenali mereka di antara jamaah lain: kepala plontos,
berbaju koko, dan bersarung. Sebagian ada yang bertato di tangan, kaki atau
leher. Baju koko mereka yang masih baru berwarna putih, coklat tua, hitam, dan
kuning. Sarung yang dikenakan bermotif garis-garis.
Begitu
memasuki masjid, sebelum khatib berada di atas mimbar, sejumlah punkers
melaksanakan salat sunat dua rakaat. Tapi banyak di antara mereka yang langsung
duduk, membentuk saf sesama punkers. Beberapa dari mereka terlihat saling
berbisik sesama teman di sampingnya.
Kala
khatib di mimbar, sejumlah punkers mendengarkan isi khutbah –yang di akhir
khutbah sempat menyorot kehidupan punk yang dinilainya “sampah” masyarakat–
dengan tekun sambil tertunduk kepala. Ada pula yang tertidur.
Usai
salat Jumat, beberapa punkers terlihat melaksanakan salat sunat dua rakaat. Ada
juga yang memanjatkan doa. Di jalan luar masjid, dua truk telah siaga, untuk
membawa kembali ke ‘pusat pembinaan’.
Sejumlah
anak punk terlihat akrab berbicara dengan polisi yang mendominasi jamaah salat
Jumat di masjid itu. Kalangan jurnalis mewawancarai mereka. Sedangkan,
fotografer sibuk memotret anak-anak punk yang telah “berubah” penampilan.
Yudi
terbilang ramah dan santun. Mengenakan koko putih, dia melangkah keluar masjid.
Dia sempat menyalami kawannya. “Di sini kami tidak dipukul,” katanya.
Ketika
tiba ke SPN Seulawah, Yudi sempat meronta saat rambut mohawknya akan dicukur.
“Saya nangis waktu kemarin kepala digunduli,” jelasnya.
Yudi
berharap bisa segera “bebas” dan bergaul dengan teman-teman lain di Takengon
atau Medan. Ia menolak jika disebut punkers sebagai para pembuat anarkis. “Kami
tidak ganggu orang lain,” kata dia.
Bagi
tamatan SMU di Medan ini, punk adalah jalan hidup. “Saya mencintai punk,” ujar
Yudi, yang punya keahlian menyablon baju. Dari kerja nyablon, dia bisa
menghidupi diri sendiri.
![]() |
Andre |
Ketika
berada di atas truk, Andre mengaku capek mengikuti “pembinaan” di SPN Seulawah.
Remaja asal Kabupaten Binjai, Sumatera Utara, yang sejak kecil telah hidup di
jalanan secara tegas mengakui, dia akan kembali menjadi punk setelah keluar
dari “pembinaan”.
“Saya
akan tetap menjadi punk setelah selesai di sini, karena sudah menjadi pilihan
hidup saya. Mereka tak mungkin mengubah jalan pilihan hidup saya,” ujar remaja
berusia 18 tahun ini.
Hal
yang sama juga diungkapkan Intan Natalia, 20 tahun. Perempuan Medan ini menjadi
seorang punker sejak 2009 lalu, ketika menempuh pendidikan di sebuah perguruan
tinggi di Jakarta. Perempuan yang sempat kuliah selama tiga semester masuk punk
karena merasa kebersamaan yang tinggi di antara komunitas itu.
“Saya
merasa cocok dengan punk. Di sini, ada kebersamaan. Kalau ada, sama-sama ada.
Tapi kalau tidak ada, kami dibantu oleh punker lain,” ujarnya.
Intan
menolak jika punkers diperlakukan seperti penjahat. “Punk itu bukan kriminal.
Jadi, kenapa kami ditangkap? Apa salah kami? Jangan melihat kami dari sisi
negatif,” katanya.
Bagi
Intan, tidak adil jika menilai punkers sebagai pembuat onar yang hidup urakan
di jalanan. “Ada juga sisi positif punk. Kami punya keahlian masing-masing,
seperti membuat tato, piercing, dan nyablon,” tuturnya.
Ia
mengaku sangat sedih saat rambutnya dipotong. Dia sempat menangis kala rambut
kesayangannya dipangkas. “Tapi mau gimana lagi. Saya mau protes juga tak ada
gunanya, ya saya ikhlas saja rambut kesayangan saya dipotong,” katanya.
Intan
mengaku sengaja datang ke Banda Aceh untuk ikut berpartisipasi pada konser
musik penggalangan dana buat anak yatim panti asuhan.
“Saat
acara sedang berlangsung, tiba-tiba saya ditangkap. Saya tidak tahu apa
alasannya saya ditangkap sebab saya tak melanggar hukum,” katanya sambil
menundukkan kepala.
Selama
ikut “pembinaan” di SPN Seulawah, dia berusaha menyesuaikan diri dengan
keadaan. Di sini, dia diajari cara berdisiplin, cara beradaptasi dengan
lingkungan, agama.
“Saya
sudah mulai disiplin. Ada perubahan kecil setelah saya di sini. Yang tadinya
urak-urakan, kini mulai disiplin waktu. Butuh proses untuk berubah, step by
step,” lanjutnya.
Aldi,
17 tahun, yang hanya tamat SMP juga mengatakan setelah “pembinaan” itu, dia
akan kembali menjadi punk. “Setelah dari sini akan tetap jadi punk karena saya
suka pola kehidupan punk. Saya bukan kriminal, mencuri bukan punk. Kalau
kerjanya mencuri, buat apa saya masuk punk,” katanya, seraya menambahkan untuk
biaya makan sehari-hari, dia bekerja menyamblon baju dan membuat stiker.
Muhammad Alhamda, pengacara dari LBH Banda Aceh yang mengunjungi anak punk di SPN Seulawah, hari Jumat itu, mengatakan bahwa pendekatan yang dilakukan pemerintah keliru karena tidak mungkin mengubah pilihan hidup seseorang.
“Saya
yakin mereka akan kembali menjadi punk setelah keluar dari sini. Saya tadi
sempat berbincang dengan beberapa orang dari mereka yang mengaku akan kembali
menjadi punk,” katanya.
Seharusnya,
jelas Alhamda, pemerintah mengajak anak punk berdialog. Bila perlu mereka
diajak ikut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kemanusiaan dan sosial yang
dilaksanakan pemerintah. Dengan begitu, mereka merasa tidak “dipinggirkan”
seperti yang terkesan selama ini.
Evi
dari Koalisi NGO HAM juga tak yakin dengan pola “pembinaan” seperti itu akan
bisa menghilangkan komunitas punk di Aceh. Buktinya, setelah penangkapan pada
Februari lalu, jumlah anak punk di Banda Aceh bukan berkurang, melainkan
semakin bertambah.
“Punk
itu adalah cara mereka mengekspresikan kebebasan dan perbedaan. Itu normal dan
ada di berbagai belahan dunia lain. Seharusnya, mereka diajak dialog untuk
mengetahui kenapa mereka berperilaku begitu. Tapi, mereka seperti itu kan hak
mengekpresikan kebebasan. Tidak ada yang salah dari anak punk,” katanya.
Namun,
Wakil Walikota Banda Aceh tetap bersikukuh untuk “memberantas” anak punk dari
Banda Aceh. Kebijakan pemerintah itu mendapat dukungan dari Kapolres Kota Banda
Aceh, Kombes Pol Armensyah Thay.
“Niat
polisi baik, ingin membina mereka menjadi lebih baik. Apalagi di Aceh
memberlakukan syariat Islam. Perilaku-perilaku menyimpang seperti anak punk,
tidak boleh hidup di Aceh,” kata Armensyah.
Menurut
dia, polisi hanya membantu Pemerintah Kota Banda Aceh karena aparat Satpol PP
dan WH belum mampu mengatasi anak punk. “Kita hanya dukung program pemerintah.
Kita ingin amankan Banda Aceh dari kegiatan yang tidak sesuai syariat Islam,”
katanya.
Setelah
“pembinaan” di SPN Seulawah, jelas Illiza, punkers dari luar Aceh akan
dipulangkan ke daerahnya masing-masing. Sedangkan, anak punk Aceh terus
dipantau perkembangannya.
“Setelah
pembinaan, kita panggil kepala daerah asal anak punk dan orangtuanya. Bila
tidak ada orangtua lagi, dipanggil kepala desa sehingga nanti mereka
bertanggungjawab memantau anak punk sampai sadar,” katanya.
Bagaimanapun,
ideologi punk telah betul-betul merasuki hidup para remaja itu. Sehingga tidak
salah jika Andre, Aris Munandar, Intan, Yudi dan puluhan punkers yang sedang
“dibina” di SPN Seulawah akan kembali ke komunitas mereka setelah pendidikan 10
hari selesai.
“Punk’s not dead…!!! (Punk tak pernah mati –red.),” teriak Andre dari atas truk yang membawanya kembali ke
barak “pembinaan”.[]
"Punk's Not Dead...!"
Reviewed by theacehglobe
on
December 18, 2011
Rating:

No comments: