OLEH NURDIN HASAN
![]() |
FOTO ACEHKITA.COM |
Banda Aceh, TAG –
Dalam keremangan kelap-kelip lampu warna-warni yang diiringi hentakan keras
musik house seperti klub malam, 40 orang berpakaian adat Aceh melenggak-lenggok
dalam dua gelombang di pentas.
Mereka mengaku bukan lelaki,
apalagi perempuan. Tetapi, pakaian yang mereka kenakan adalah baju adat Aceh
yang biasa dipakai perempuan. Merekalah kaum waria Aceh, yang sedang memperagakan
segenap kemampuan untuk meraih predikat Duta Waria Aceh 2010. Ke-40 finalis
mewakili 23 kabupaten/kota yang ada di Aceh. Pemenangnya nanti akan ikut ajang
‘Miss’ Waria Indonesia.
Menurut seorang panitia
dari Putroe Sejati Aceh (PSA) –organisasi tempat bernaung waria Aceh, ini
adalah even pertama digelar di provinsi yang memberlakukan syariat Islam.
Kegiatan yang dibungkus di balik nama “Pemilihan Duta Sosial Budaya Aceh 2010″ digelar di Auditorium Radio Republik
Indonesia (RRI) Cabang Banda Aceh, Sabtu malam.
Tidak terlihat seorang
pun pejabat pemerintah yang hadir. Juga tidak terlihat petugas Wilayatul Hisbah
(WH) atau polisi syariat yang memantau kegiatan tersebut. Bisa jadi, personel
WH juga melakukan patroli seperti biasa pada malam Minggu itu, tetapi mereka
luput melongok ke auditorium RRI.
Auditorium disesaki
pengunjung. Sebagian besar dari komunitas minoritas waria. Pengunjung
diharuskan membayar tiket Rp 10.000. Seluruh kursi terisi penuh. Ratusan
pengunjung rela berdesak-desakan di sisi kiri dan kanan dan bagian belakang
ruangan. Ada juga pengunjung terpaksa harus berdiri di balkon lantai dua.
Mereka bertahan hingga acara usai menjelang pukul 24:00 WIB.
Gemuruh teriakan, siulan,
tawa, dan tepuk tangan kerap menggema saat “putroe-putroe” di pentas
yang telah dihias layaknya pengantin beraksi dengan gaya seperti dalam ajang
pemilihan putri kecantikan. Tubuh mereka dibuat segemulai kendati tetap
terlihat kaku. Apalagi, sebagian mereka bersanggul menjulang ke langit sesuai
pakaian adat tradisional Aceh warna cerah dari daerah yang diwakilinya.
Tiga orang –satu pria dan
dua perempuan— jadi dewan juri. Mereka terdiri dari aktivis perempuan,
instruktur senam di Banda Aceh dan seorang penyiar radio lokal. Tak ada juri
dari komunitas waria. Menurut ketua panitia, Jimmy Saputra, itu sengaja
dilakukan agar penjurian benar-benar fair.
“Kegiatan ini ada izin
MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama, red). Saya sendiri yang datang ke
MPU untuk mengurus izin. Saya jelaskan maksud dan tujuannya. Setelah kami
jelaskan panjang lebar bahwa kegiatan ini positif, ulama memberikan izin,” kata
waria yang oleh rekan-rekannya disapa Timmy Mayubi.
Tapi, klaim Timmy
dibantah tegas Ketua MPU Banda Aceh, Teungku Karim Syeikh. Dia mengakutak
pernah memberikan izin kontes waria. “Jangankan kontes waria, pemilihan putri
kecantikan saja tak diberikan izin. Mereka telah mencemarkan nama ulama,”
katanya kepada wartawan, Senin.
Dijelaskannya dalam surat
pemberitahuan pada MPU, panitia menyebutkan kegiatan itu adalah penggalangan
dana sosial, bukan pemilihan duta waria. Dalam surat itu juga disebutkan
beberapa poin seperti digariskan dalam edaran MPU yang akan dipatuhi selama
berlangsungnya acara.
Dari 40 orang akhirnya
dipilih 15 finalis. Kemudian, untuk terpilih menjadi enam besar, mereka harus
menjawab pertanyaan yang telah disiapkan dewan juri. Pertanyaan berkisar mulai
dari masalah korupsi, kehidupan sehari-hari waria hingga soal penerapan syariat
Islam di Aceh.
Ada finalis yang
jawabannya tak nyambung dengan pertanyaan seperti Alin, 23, mewakili Kota
Lhokseumawe. Ditanya pendapatnya mengenai anggota WH yang melanggar syariat,
Alin dengan gaya dibuat seanggun mungkin menjawab, “Saya akan patuhi syariat
Islam karena tinggal di Aceh.”
Lain lagi dengan Carla,
20, wakil dari Aceh Besar, saat ditanya kaitan antara kemiskinan dan korupsi.
Dengan enteng, ia menjawab, “Kalau kemiskinan tidak diterapkan, maka korupsi
tak jalan.”
Kontan saja, pengunjung
terbahak mendengar jawaban ‘ngawur’ itu. Tapi, Carla berusaha tetap tampil
anggun di pentas dan tidak risih ditertawakan. Ia malah berjalan ke sisi
panggung sambil melenggang layaknya kontestan putri kecantikan sambil terus
melambaikan tangannya.
Selain itu, ada juga
peserta yang kaku dan tidak bisa berbicara sama sekali ketika diajukan
pertanyaan. Tapi, kebanyakan dari 15 “putroe” menjawab dengan baik,
sehingga mendapat applause pengunjung, terutama saat menjawab masalah
keberadaan waria, pemberlakuan syariat Islam dan qanun jinayat yang menimbulkan
kontroversial di Aceh.
Joy,
19, dari Aceh Tengah dengan lantang berujar, penerapan syariat Islam di Aceh
“belum sesuai dengan keinginan masyarakat karena banyak orang Aceh masih
melanggar syariat, terutama pada bulan puasa tidak berpuasa atau masih
terjadinya perzinaan.”
***
![]() |
FOTO ACEHKITA.COM |
Malam kian larut.
Hentakan musik house masih membahana dalam suasana remang-remang.
Pemilihan Duta Waria Aceh juga diselingi lips singing tiga waria dan break
dance. Ada juga tarian diiringi lagu dangdut Trio Macan. Mereka mengenakan
pakaian ketat, wajah dihiasi make up yang terkesan menor dan “rambut
panjang” menjuntai. Mereka menghentak dan menggoyang tubuh di pentas.
Banyak pengunjung waria
juga berpakaian ketat. Wajah mereka dihiasi make up tebal, sehingga “kelihatan
lebih seksi”. Ada juga yang mengenakan pakaian long dress berjuntai ke
bawah. Beberapa dari mereka terlihat mengenakan jilbab, tapi wajah tetap bermake
up tebal.
Menurut Timmy, sang ketua
panitia, waria di Banda Aceh berjumlah sekitar 150 orang. Mereka sebagian besar
bekerja di salon kecantikan. Selama ini, mereka tidak pernah diperlakukan kasar
atau dideskreditkan karena “bisa menempatkan diri di tengah masyarakat.”
Setelah enam finalis
terpilih, segera ditentukan tiga pemenang harapan satu, dua dan tiga. Juga diumumkan
waria terbaik catwalk, tapi pada selempang ditulis “cet work”. Untuk
kategori waria terbaik make up selempangnya ditulis “met up”. Kesalahan
penulisan entah disengaja atau tidak. Tak ada penjelasan untuk itu. Ada juga
kategori favorit dan busana terbaik. Kepada mereka semua diberikan selempang.
Tiga finalis yang tersisa
adalah Jasmine Mulan Sayuri dari Aceh Selatan, Zifana Letisia mewakili Aceh
Utara, dan Joy, asal Aceh Tengah. Kepada mereka diajukan satu pertanyaan yaitu
apa yang mereka lakukan apabila terpilih menjadi “Miss” Waria Aceh 2010 di
tingkat nasional.
Mulan ingin membentuk
komunitas khusus yang anggotanya semua waria agar keberadaan waria di Aceh bisa
lebih banyak berkecimpung di bidang sosial dan budaya. Zifana ingin mengajak
kaum waria Aceh banyak berperan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan dan
budaya. Sedangkan Joy ingin mencoba untuk meningkatkan sektor pariwisata di
Aceh.
Setelah bersidang,
akhirnya dewan juri memutuskan Zifana (19) terpilih sebagai Miss Waria Aceh 2010.
Posisi kedua ditempati Joy dan ketiga adalah Mulan. Ketiganya mendapat piala.
Yang jadi pertimbangan penilaian cara berpakaian, penampilan dan postus tubuh,
kecakapan berkomunikasi, wawasan, kepekaan terhadap lingkungan dan kepedulian
sosial.
Zifana, yang ditanya
wartawan usai penganugerahan sebagai “Miss” Waria Aceh 2010 mengatakan, dia
akan berusaha mengharumkan nama dan mempromosi budaya Aceh di tingkat nasional.
“Saya akan buktikan bahwa
waria Aceh dapat bersaing di tingkat nasional,” kata dia, yang mengaku saat ini
tercatat sebagai mahasiswa semester tiga jurusan keperawatan sebuah universitas
di Banda Aceh. Di samping kuliah, sehari-hari Zifana bekerja sebagai penata
rias pengantin. Tapi, dia menolak menyebut nama universitas tempatnya menimba
ilmu pengetahuan.
“Kuliah dirahasiakan,
pokoknya universitas ternama di Banda Aceh,” kata Zifana, yang mengaku tak
mengalami kesulitan bergaul dengan lingkungan sebab dia bisa membawa diri
kendati keluarganya masih belum bisa menerima dengan keadaannya sebagai waria.
“Di kampus, saya
berprestasi cukup bagus. Jadi teman-teman tidak ada yang berani melecehkan.
Bahkan mereka bangga dan sopan pada saya. Mereka tahu, saya waria,” katanya.
Soal pemberlakuan syariat
Islam di Aceh, Zifana menyatakan dukungannya karena dia mengaku tak merasa
terganggu. “Waria di Aceh bisa menempatkan diri pada tempatnya. Mereka tidak
melakukan hal-hal negatif. Mereka semua punya pekerjaan,” ujarnya.
Menyangkut Qanun Jinayat,
waria yang terus tersenyum karena berhasil meraih penghargaan terbaik di malam
istimewa itu, menyatakan akan melihat perkembangan. Bila perlu, akan
dilaksanakan pertemuan khusus waria Aceh untuk membicarakan masalah tersebut
guna menentukan sikap.
“Sekarang sebenarnya
was-was juga, tetapi nanti akan bikin forum khusus untuk mencari jalan tengah,”
katanya.
Dalam Qanun Jinayat yang
telah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, September 2009, disebutkan bahwa
pelaku homoseksual dan lesbian diancam hukuman 100 kali cambuk dan denda 1.000
gram emas murni atau penjara paling lama 100 bulan.
Tapi, qanun itu belum
diimplementasikan karena Gubernur Aceh Irwandi Yusuf menolak menandatanganinya.
Alasannya, belum ada kesepakatan bersama antara eksekutif dan legislatif Aceh,
terutama menyangkut hukuman rajam sampai mati terhadap pelaku zina yang telah
menikah. Qanun itu juga ditentang aktivis pembela hak asasi manusia dalam dan
luar negeri.
Kritikan agak keras terhadap
pemberlakuan syariat Islam di Aceh disuarakan Timmy Miyabi, karena “masih
banyak persoalan lain yang harus dikerjakan pemerintah daripada hanya sekadar
melakukan razia wanita berpakaian ketat dan jilbab.”
“Bagusnya urus dulu
lapangan pekerjaan, pengangguran atau masalah lain yang menyangkut hajat hidup
orang banyak daripada mengurus urusan pribadi orang, karena semua orang berhak
mengekspresikan kepribadiannya,” katanya, sambil menyulut sebatang rokok.
Menurut
Timmy, ketika mengurus izin ke MPU, dia jelaskan dan berharap supaya diberikan
“satu hari istimewa dalam setahun” kepada kaum waria di Aceh untuk menggelar
event akbar itu. Akhirnya, malam istimewa pun terwujud dan menjadi milik
Zifana. [Dipublikasi di laman ACEHKITA.COM, 15 Februari 2010]
Malam Istimewa untuk Zifana
Reviewed by theacehglobe
on
January 23, 2012
Rating:

No comments: