ANGIN laut dari barat bertiup tenang ke pesisir utara Sumatra, membawa aroma asin pekat, bercampur wangi lada yang baru dipetik. Di sana, di bawah rimbunan pohon kelapa yang melambai dan bentangan sawah menghijau, ribuan pasang mata menatap ke satu titik.
Di atas sebuah gundukan tanah, berdiri tegap seorang bangsawan muda dari suku Mon Khmer: Sjahir Pauling. Mengenakan pakaian tenun sederhana, namun berwibawa, keturunan pendatang asal Champa itu memegang tiang bendera dari kayu ulin yang kokoh.
"Mulai hari ini," ucapnya, suaranya lantang dan bergetar, bergema di antara kerumunan yang sunyi.
"Wilayah ini tak lagi menjadi persinggahan para bajak laut, atau sekadar pelabuhan rempah yang rentan. Kita dirikan sebuah kerajaan! Sebuah tempat bagi hukum yang tak tertandingi, keadilan yang suci, dan kejayaan abadi!"
Dia menancapkan tiang itu ke dalam tanah dengan kekuatan penuh. Suara "duk!" yang keras menjadi penanda. Bendera baru, berwarna merah marun dengan lambang pedang emas berkilat, berkibar ditiup angin. Seketika. sorak rakyat pecah, membahana, seolah guncangan tiang itu telah membangkitkan semangat baru di seluruh penjuru Kerajaan Poli.
Tahun itu, akhir abad ke-13, adalah masa transisi. Kerajaan-kerajaan kecil di pesisir Sumatra mulai memantapkan kekuasaan. Sjahir Pauling, yang dikenal bijaksana dan ahli strategi, tak membuang waktu. Dia memanggil panglimanya, Teuku Manira, seorang pria dengan otot kawat tulang besi dan mata setajam elang.
"Panglima, kita harus pastikan tiap jengkal tanah ini adalah milik rakyat," perintahnya, dalam sebuah rapat, jemarinya menunjuk ke peta yang terhampar di meja.
"Perketat penjagaan di setiap sungai dan Selat Malaka, buka jalan-jalan baru, dan terapkan sistem pajak yang adil. Pondasi kerajaan ini adalah kepercayaan dan kemakmuran."
Beberapa tahun kemudian, pelabuhan Kuala Batee dan Sigli, gerbang dagang utama Poli, telah menjadi salah satu yang tersibuk di Nusantara. Di pagi, saat kabut tipis masih menyelimuti laut, kapal-kapal dari Malabar, Turki, dan Tiongkok mulai bersandar. Teriakan pedagang dari berbagai bangsa bersahutan, tawa riang, dan suara tumpukan koin yang memenuhi udara.[]
Temukan selengkapnya dalam e-book "Api di Selat Malaka"
Harganya: Rp120.000 dapat dua e-books: "Api di Selat Malaka" dan "Aceh, 1480" -- perpaduan kejayaan Aceh masa lalu dań masa depan.
Silahkan pesan via WA: 0811684351
Reviewed by theacehglobe
on
October 24, 2025
Rating:

No comments: