OLEH NURDIN HASAN
Tulisan ini adalah pemenang "Fellowship Liputan Keberagaman 2014" yang dilaksanakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) dan dipublikasi di acehkita.co
Tulisan ini adalah pemenang "Fellowship Liputan Keberagaman 2014" yang dilaksanakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) dan dipublikasi di acehkita.co
Banda Aceh, TAG – Puluhan pria berseragam hijau tua,
lengkap baret bersiaga di Simpang Mesra, Banda Aceh. Sejumlah perempuan, juga
berpakaian seragam, terlihat di situ. Setiap sepeda motor yang dikendarai
perempuan berpakaian ketat atau lelaki bercelana pendek dihentikan.
Merekalah polisi Wilayatul Hisbah (WH) Aceh atau
polisi syariah yang sedang menggelar razia. Razia itu lazim dilancarkan polisi
WH, dengan alasan untuk menegakkan Qanun Nomor 11 Tahun
2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Akidah, Ibadah dan Syiar Islam.
Ada pasal dalam qanun itu mengatur setiap muslim wajib menutup aurat.
Para pengendara sepeda motor yang
terjaring diarahkan ke tempat yang telah ditentukan, berbaris.
Biasanya, puluhan perempuan terjaring. Di sini, mereka dinasihati dan diminta berjanji
tak mengulangi lagi berpakaian ketat. Setelah diceramahi, mereka dilepas. Tak
sedikit dari perempuan yang terjaring protes, karena pelaksanaan syariat Islam
di Aceh, sejak 2001, seperti terjebak pada masalah pakaian dan korbannya, kaum
hawa.
Hari
itu, 5 Februari lalu, dua perempuan yang tidak menutup kepala terjaring. Mereka
mengaku beragama Kristen. Usai diperiksa dan dinasihati, keduanya dilepas. Biasanya,
bila ada perempuan tak mengenakan jilbab terjaring razia, ia dibawa ke kantor
WH untuk mendapatkan pembinaan lebih, seperti terjadi pertengahan Juni lalu.
Kepala Seksi Penegakan Pelanggaran
WH Aceh, Samsuddin mengatakan non-muslim diharapkan menghormati Aceh yang
melaksanakan syariat Islam. Dia mengimbau perempuan non-muslim juga menutup
aurat. “Non-muslim yang tinggal di Aceh diminta memakai jilbab untuk
menghormati muslim di Aceh,” katanya kepada wartawan usai razia, 5 Februari
silam.
Dia juga
menyatakan, ke depan qanun tentang syariah akan diberlakukan bagi non-muslim di
Aceh. Setelah pernyataan itu diberitakan media massa, pejabat Aceh berusaha
mengklarifikasikan bahwa syariat Islam hanya berlaku untuk muslim.
Malah,
Gubernur Aceh Zaini Abdullah menggelar coffee
morning dengan para jurnalis pada 21 Februari lalu. Dalam pernyataan, Zaini
menegaskan pihaknya menjamin kebebasan beragama di Aceh dan tidak ada
diskriminasi bagi kaum minoritas. Pelaksanaan syariat Islam di Aceh, tambahnya, sangat
menjunjung tinggi dan menghormati hak asasi manusia.
“Informasi yang berkembang
seolah syariat Islam di Aceh diberlakukan untuk non-Muslim, tidak benar.
Kondisi itu tentunya sangat merugikan Aceh karena tak sesuai fakta,” ujarnya. “Syariat
Islam di Aceh mengedepankan pendekatan pendidikan, adat istiadat dan budaya.”
Pernyataan Samsuddin tak
keliru. Sebab, ada aturan hukum yang bisa dipakai untuk menjerat warga
non-muslim bila melakukan pelanggaran syariat Islam di Aceh. Aturan itu ialah
Qanun Hukum Acara Jinayat yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)
pada 13 Desember 2013.
Pasal lima Qanun Nomor 7
Tahun 2013, yang ditandatangani Gubernur Zaini, berbunyi, “Qanun
Aceh ini berlaku untuk lembaga penegak hukum dan setiap orang yang berada di
Aceh.” Itu bermakna qanun itu dilaksanakan bagi semua orang di Aceh, tanpa memandang agama
atau kewarganegaraan.
Qanun Hukum Acara Jinayat merupakan
peraturan daerah Aceh tentang tata cara penyelidikan, penyidikan, penuntutan
hingga persidangan di mahkamah syariah. Qanun memberi kewenangan kepada penyidik
WH dan polisi untuk menggeledah, menangkap, dan menahan pelaku pelanggar
syariat. Lamanya 20 hari, yang dapat diperpanjang hingga 30 hari.
Itu pula yang menjadi dasar
bagi polisi WH Aceh menyiapkan kamar tahanan di komplek kantor tersebut. Dua
kamar ukuran 5 x 5 meter terletak di bagian belakang kantor. Sejauh ini, sudah
ada beberapa pelanggar syariat Islam yang ditahan di situ.
Selama ini, aparat
penyidik hanya boleh menggeledah dan menangkap pelaku pelanggaran syariat.
Setelah dilakukan pembinaan, pelanggar syariat biasanya dibebaskan karena tak
ada kewenangan bagi penyidik melakukan penahanan. Itu pula yang dijadikan
sebagai salah satu alasan pelaksanaan syariat Islam di Aceh dianggap belum
maksimal.
Dalam Qanun Hukum Acara Jinayat juga disebutkan
bahwa non-muslim yang melakukan pelanggaran bersama orang Islam dapat memilih
apakah diproses hukum di Mahkamah Syar’iyah atau Pengadilan Negeri. Tapi bila
pelanggaran tersebut tak diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
atau undang-undang lain di Indonesia, maka pelaku non-muslim itu tetap diadili
di Mahkamah Syar’iyah.
Ketua Dewan
Pimpinan Wilayah Nahdhatul Ulama (DPW
NU) Aceh, Teungku Faisal Ali,
menilai masuknya pasal kontroversial yang mengatur non-muslim terkesan sebagai
upaya terselubung agar qanun itu tak dapat dilaksanakan.
“Selama ini berbagai cara
dilakukan oleh sebagian kalangan agar syariat Islam tidak jalan di Aceh. Salah
satunya dengan memasukkan pasal yang mengatur warga non-muslim padahal itu
tidak perlu. Jadi, itu upaya penghambatan dan kesengajaan sehingga syariat
Islam tak maksimal dijalankan,” katanya.
Menurut Faisal, DPRA dan
Pemerintah Aceh terkesan tak serius mendukung pelaksanaan syariat Islam, karena
terus mengulur waktu pengesahan Qanun Jinayat. “Padahal, qanun itu sangat
dibutuhkan untuk tegaknya syariat Islam secara kaffah,” katanya yang
menambahkan bahwa sebelumnya DPRA pernah berjanji mengesahkannya pada 2013.
Qanun Jinayat merupakan
penyempurnaan aturan pelaksanaan syariat Islam di Aceh, karena empat qanun yang
ada selama ini banyak kelemahan sehingga implementasi syariat tak maksimal.
Empat qanun yang digunakan selama 13 tahun terakhir hanya mengatur
masalah-masalah syiar Islam, khamar, maisir (perjudian), dan khalwat (mesum).
Itulah hukum materil pelaksanaan syariat Islam di Aceh.
Terhadap para pelaku
khamar diancam hukuman maksimal 40 kali cambuk di depan umum. Hukuman bagi
pelaku mesum antara tiga hingga sembilan kali cambuk. Sedangkan, penjudi
diancam hukuman cambuk antara enam hingga 12 kali.
Dalam Rancangan Qanun
Jinayat yang sedang dibahas DPRA dan Pemerintah Aceh, ada penambahan beberapa
persoalan lain seperti zina, pemerkosaan, pelecehan seksual, homoseksual dan
lesbian. Ancaman hukuman bagi pelaku pelanggaran syariat Islam dalam qanun itu
lebih keras, yakni puluhan hingga ratusan kali cambuk atau puluhan sampai
ratusan bulan hukuman penjara.
Faisal menyebutkan, akibat
masuknya pasal dapat menjerat non-muslim telah membuat pelaksanaan syariat
Islam di Aceh dipersoalkan sejumlah kalangan di luar negeri, karena seolah-olah
Aceh tak menghormati toleransi beragama. Faktanya, mayoritas muslim Aceh sejak
dulu sangat menghormati kebebasan beragama dan toleran bagi non-muslim.
“Tak pernah terjadi
konflik agama di Aceh. Kita bisa hidup dengan warga non-muslim secara damai.
Malah saat konflik bersenjata hampir 30 tahun, tak ada non-muslim dan kaum
minoritas jadi korban,” ungkap Faisal, yang juga Wakil Ketua Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh. “Mayoritas muslim Aceh sangat menghormati
kelompok minoritas dan kita bisa hidup berdampingan.”
Kepala Biro Hukum
Pemerintah Aceh, Edrian menjelaskan, masuknya pasal yang mengatur masalah
non-muslim sebagai bentuk antisipasi, supaya jangan sampai pelaku pelanggaran
pidana syariat bebas dari jeratan hukum.
“Pasal itu untuk
menghindari kevakuman kalau terjadi tindak pidana yang tak diatur dalam KUHP
sehingga pelaku tindak pidana bebas dari sanksi hukum,” katanya. “Tetapi
menurut saya, tidak ada pelanggaran pidana yang tak diatur dalam KUHP atau
aturan lain di Indonesia.”
Pendapat senada
diungkapkan Abdullah Saleh, mantan Ketua Panitia Khusus Qanun Hukum Acara
Jinayat DPRA. Menurut dia, pasal yang dapat menjerat non-muslim untuk memberi
rasa keadilan hukum kepada pelaku pelanggaran syariat Islam di Aceh.
“Kalau terjadi tindak
pidana yang di dalamnya terdapat non-muslim, tapi tak diatur dalam KUHP atau
aturan lain di Indonesia, pelaku pelanggaran hukum beragama Islam diproses
hukum, sementara non-muslim harus bebas karena tidak ada dasar hukum
menjeratnya. Dimana rasa keadilan hukum,” katanya. “Sangat tersinggung rasa
keadilan jika yang satu diadili, satu lagi bebas.”
Ia memberikan contoh
pelanggaran yang tak diatur dalam KUHP atau aturan hukum lain di Indonesia,
tetapi terdapat dalam qanun tentang syariat Islam di Aceh, yaitu khalwat dan
khamar. “Berdua-duaan laki-laki dan perempuan atas dasar suka sama suka yang
dilakukan orang dewasa tanpa ikatan perkawinan tidak bisa ditindak karena mesum
tak ada deliknya dalam KUHP,” katanya.
Politisi senior Partai
Aceh ini mengaku bahwa pasal yang tercantum pada Bab Koneksitas Qanun Hukum
Acara Jinayat seakan-akan ada pemaksaan ajaran Islam kepada non-muslim di Aceh.
“Sebenarnya, tak ada itu. Ini semata-mata untuk memberi rasa keadilan hukum dan
bukan hendak menerapkan ajaran Islam untuk non-muslim,” jelasnya.
Abdullah memastikan bahwa
tak ada penolakan dari warga non-muslim atas masuknya pasal kontroversial tersebut. Ia juga menyatakan,
saat pembahasan Qanun Hukum Acara Jinayat, pihaknya tidak melaksanakan dengar
pendapat dengan kalangan non-muslim di Aceh.
Alasannya “tidak ada kolerasi langsung karena
penerapan syariat Islam hanya untuk orang Islam. Sedangkan, pasal yang mengatur
masalah non-muslim itu hanya satu segmen kecil di bagian koneksitas,” ujarnya.
Kho Khie Siong, Ketua
Komunitas Hakka Aceh, menyebutkan bahwa toleransi antarumat beragama terjalin sangat
baik di Aceh. Interaksi sosial juga cukup baik terbina antara orang Islam dan non-muslim.
“Kami sangat menghormati
pelaksanaan syariat Islam di Aceh,” katanya.
Saat ditanya
tanggapannya soal pasal dalam Qanun Acara Jinayat yang dapat menjerat
non-muslim, Kho menyatakan tak bisa berkomentar banyak, karena belum
mempelajari secara detil ketentuan tersebut.
"Tetapi,
ini terkesan agak aneh karena yang saya tahu syariat Islam di Aceh hanya
berlaku untuk Muslim saja. Jadi kenapa harus diberlakukan juga untuk
non-Muslim," ujarnya.
Pernyataan senada juga diutarakan
Baron Ferryson Pandiangan, Pembimbing Masyarakat Katolik di Kementerian Agama
Provinsi Aceh. Menurut dia, umat Katolik yang berjumlah 5.300 lebih di Aceh
sangat menghormati pelaksanaan syariat Islam karena ini bentuk kearifan lokal
dan kekhususan Aceh.
“Toleransi orang Aceh terhadap
warga non-muslim sangat tinggi. Saya pribadi merasa lebih menjadi Katolik sejati
sejak bertugas di Aceh. Saya merasa lebih taat,” kata Baron, yang telah tiga
tahun lebih menetap di Banda Aceh.
Soal menjerat warga
non-muslim bila melakukan pelanggaran bersama orang Islam, Baron menyatakan,
Pemerintah Aceh belum pernah mensosialisasikan masalah tersebut kepada umat
Katolik. “Patut dipertanyakan juga apa motif di balik masuknya pasal itu karena syariat Islam hanya untuk muslim,”
katanya.
Direktur Eksekutif Koalisi
NGO HAM Aceh, Zulfikar Muhammad menyatakan kekhawatirannya saat pasal kontroversial
itu diimplementasikan, karena bisa jadi polisi syariah bakal bertindak di luar
kewenangan seperti diatur dalam Qanun Hukum Acara Jinayat.
“Ini bentuk diskriminasi terhadap
warga non-muslim oleh DPRA karena tetap memaksakan pasal itu masuk dalam
qanun,” katanya. “Siapa bisa jamin kalau WH tak akan bertindak di luar batas
kewenangan mereka, seperti yang sering terjadi selama ini ketika pasal itu
dilaksanakan.”
Sementara itu, Saifuddin
Bantasyah, pengamat hukum dari Universitas Syiah Kuala, memastikan bahwa pasal
kontroversial itu tak bisa diimplementasikan karena tak ada hukum materil.
Empat qanun yang jadi dasar hukum materil pelaksanaan syariat Islam di Aceh
berlaku bagi muslim.
“Ketika hukum acara
menambah klausul yang juga berlaku bagi non-muslim, dasar hukum penuntutan apa?
Jadi, Qanun Hukum Acara Jinayat tak dapat dilaksanakan untuk non-muslim,”
katanya.
Saifuddin menambahkan satu
aturan hukum tidak boleh dibuat kalau tak bisa dilaksanakan. Non-muslim di Aceh
bisa dijerat dengan aturan hukum pidana Indonesia kalau melanggar syariat
bersama muslim. “Bisa saja non-Muslim dijerat pasal mengganggu ketertiban umum.
Bukan memasukkan pasal diadili di Mahkamah Syar’iyah karena tak dapat
dilaksanakan,” ujarnya.
Saifuddin yang merupakan
seorang dosen Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala, menyatakan pernah
terjadi tahun 2006, tiga orang Kristen dan seorang Islam terlibat perjudian hendak
diadili di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh.
“Di persidangan, hakim
bertanya pada tiga orang Kristen itu apakah mereka tahu fungsi Mahkamah Syar’iyah.
Mereka menjawab tidak tahu. Lalu, hakim menjelaskan bahwa Mahkamah Syar’iyah hanya
mengadili orang Islam,” tutur Saifuddin.
Kemudian hakim bertanya kepada
mereka apakah mau masuk Islam sehingga bisa diproses di Mahkamah Syar’iyah.
Hakim juga menjelaskan syarat-syarat bagi seseorang pindah agama. Tetapi,
ketiganya sepakat tidak mau pindah ke agama Islam. “Akhirnya, hakim memutuskan
Mahkamah Syar’iyah tak punya kompetensi dan tak berwenang mengadili perkara
itu,” katanya.
Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah
Aceh, Jamil Ibrahim, sependapat dengan Saifuddin. Menurut Jamil, non-muslim
yang melakukan pelanggaran bersama Muslim tak dapat diproses dengan qanun
syariat Islam karena empat hukum materil yang ada hanya berlaku untuk orang
Islam.
“Tetapi, non-muslim di
Aceh boleh menundukkan diri diproses di Mahkamah Syar’iyah jika melakukan
pelanggaran bersama muslim. Caranya dia memilih apakah diadili di Mahkamah Syar’iyah
atau Pengadilan Negeri atas kesadaran sendiri, tanpa paksaan dari pihak
manapun,” katanya.
Ditambahkan, masuknya
pasal kontroversial yang tetap mengadili warga non-Muslim kalau tak ada aturan
hukum pidana Indonesia akan membingungkan hakim Mahkamah Syar’iyah karena tidak
dapat dilaksanakan. “Mungkin nanti akan dibuatkan qanun khusus yang mengatur
masalah itu,” ujarnya.
Sondang Marbun, Pembimbing Masyarakat Kristen pada Kantor Departemen Agama
Aceh, menyatakan pasal kontroversial itu dalam Qanun Hukum Acara Jinayat tidak
begitu berpengaruh, karena yang terpenting adalah setiap umat beragama jangan
melanggar aturan, sehingga tak perlu diproses hukum.
Sebagai bentuk
penghormatan pelaksanaan syariat Islam di Aceh, perempuan yang telah 35 menetap
di Aceh memilih tampil mengenakan jilbab saat berada di luar rumah. Anak-anak
perempuannya dan perempuan Kristen dianjurkan memakai jilbab, tapi tidak ada
paksaan dan mereka bebas berpakaian asalkan sopan.
“Saya selalu pesan pada umat Kristen
untuk menyesuaikan diri karena Aceh memberlakukan syariat Islam. Saya dan
anak-anak selalu memakai jilbab bila keluar rumah. Begitu juga sebagian
perempuan Kristen lain. Mereka nyaman saja meski tak ada kewajiban harus pakai
jilbab,” katanya.[]
Syariat untuk Non-Muslim
Reviewed by theacehglobe
on
August 10, 2014
Rating:
JILBAB MENURUT BUYA HAMKA (Pendiri/Ketua MUI ke-1, Tokoh Ulama Besar Muhammadiyah), yang ditentukan oleh agama adalah Pakaian yang Sopan dan menghindari 'Tabarruj'
ReplyDeleteBerikut adalah kutipan Tafsir Al-Azhar Buya HAMKA (selengkapnya lebih jelas dan tegas dapat dibaca khususnya Al-Ahzab: 59 dan An-Nuur: 31):
'Nabi kita Muhammad saw. Telah mengatakan kepada Asma binti Abu Bakar ash-Shiddiq demikian,
"Hai Asma! Sesungguhnya Perempuan kalau sudah sampai masanya berhaidh, tidaklah dipandang dari dirinya kecuali ini. (Lalu beliau isyaratkan mukanya dan kedua telapak tangannya)!"
Bagaimana yang lain? Tutuplah baik-baik dan hiduplah terhormat.
Kesopanan Iman
Sekarang timbullah pertanyaan, Tidakkah Al-Qur'an memberi petunjuk bagaimana hendaknya gunting pakaian?
Apakah pakaian yang dipakai di waktu sekarang oleh perempuan Mekah itu telah menuruti petunjuk Al-Qur'an, yaitu yang hanya matanya saja kelihatan?
Al-Qur'an bukan buku mode!
Islam adalah anutan manusia di Barat dan di Timur. Di Pakistan atau di Skandinavia. Bentuk dan gunting pakaian terserahlah kepada umat manusia menurut ruang dan waktunya.
Bentuk pakaian sudah termasuk dalam ruang kebudayaan, dan kebudayaan ditentukan oleh ruang dan waktu ditambahi dengan kecerdasan.
Tidaklah seluruh pakaian Barat itu ditolak oleh Islam, dan tidak pula seluruh pakaian negeri kita dapat menerimanya.
Baju kurung cara-cara Minang yang guntingnya sengaja disempitkan sehingga jelas segala bentuk badan laksana ular melilit, pun ditolak oleh Islam.'
(Tafsir Al-Azhar, Jilid 6, Hal. 295, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015)
MENGENAL (KEMBALI) BUYA HAMKA
Ketua Majelis Ulama Indonesia: Buya HAMKA
mui.or.id/tentang-mui/ketua-mui/buya-hamka.html
Hujjatul Islam: Buya HAMKA
republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/04/12/m2clyh-hujjatul-islam-buya-hamka-ulama-besar-dan-penulis-andal-1
Mantan Menteri Agama H. A. Mukti Ali mengatakan, "Berdirinya MUI adalah jasa Hamka terhadap bangsa dan negara. Tanpa Buya, lembaga itu tak akan mampu berdiri."
kemenag.go.id/file/dokumen/HAMKA.pdf
"Buya HAMKA adalah tokoh dan sosok yang sangat populer di Malaysia. Buku-buku beliau dicetak ulang di Malaysia. Tafsir Al-Azhar Buya HAMKA merupakan bacaan wajib."
disdik.agamkab.go.id/berita/34-berita/1545-seminar-internasional-prinsip-buya-hamka-cermin-kekayaan-minangkabau
"orang puritan sebagai mayoritas di Muhammadiyah, Jilbab bukan sesuatu yang wajib" KOMPAS, Senin 30 November 2009 Oleh AHMAD NAJIB BURHANI, Peneliti LIPI
www.academia.edu/7216467/100_Tahun_Muhammadiyah
"Sebab itu, menjadi pilihan pribadi masing-masing Muslimah mengikuti salah satu pendapat jumhur ulama: memakai, atau tidak memakai jilbab."
nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,48516-lang,id-c,kolom-t,Polwan+Cantik+dengan+Berjilbab-.phpx
"Antara Syari'ah dan Fiqh
(a) menutup aurat itu wajib bagi lelaki dan perempuan (nash qat'i dan ini Syari'ah)
(b) apa batasan aurat lelaki dan perempuan? (ini fiqh)
Catatan: apakah jilbab itu wajib atau tidak, adalah pertanyaan yang keliru. Karena yang wajib adalah menutup aurat.
Nah, masalahnya apakah paha lelaki itu termasuk aurat sehingga wajib ditutup? Apakah rambut wanita itu termasuk aurat sehingga wajib ditutup? Para ulama berbeda dalam menjawabnya."
*Nadirsyah Hosen, Dosen Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
luk.staff.ugm.ac.id/kmi/isnet/Nadirsyah/Fiqh.html
Terdapat tiga MUSIBAH BESAR yang melanda umat islam saat ini:
1. Menganggap wajib perkara-perkara sunnah.
2. Menganggap pasti (Qhat'i) perkara-perkara yang masih menjadi perkiraan (Zhann).
3. Mengklaim konsensus (Ijma) dalam hal yang dipertentangkan (Khilafiyah).
*Syeikh Amru Wardani. Majlis Kitab al-Asybah wa al-Nadzair. Hari Senin, 16 September 2013
www.suaraalazhar.com/2015/05/tiga-permasalahan-utama-umat-saat-ini.html