Facebook

Syariat untuk Non-Muslim

OLEH NURDIN HASAN
Tulisan ini adalah pemenang "Fellowship Liputan Keberagaman 2014" yang dilaksanakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) dan dipublikasi di acehkita.co

Banda Aceh, TAG – Puluhan pria berseragam hijau tua, lengkap baret bersiaga di Simpang Mesra, Banda Aceh. Sejumlah perempuan, juga berpakaian seragam, terlihat di situ. Setiap sepeda motor yang dikendarai perempuan berpakaian ketat atau lelaki bercelana pendek dihentikan.
Merekalah polisi Wilayatul Hisbah (WH) Aceh atau polisi syariah yang sedang menggelar razia. Razia itu lazim dilancarkan polisi WH, dengan alasan untuk menegakkan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Akidah, Ibadah dan Syiar Islam. Ada pasal dalam qanun itu mengatur setiap muslim wajib menutup aurat.
Para pengendara sepeda motor yang terjaring diarahkan ke tempat yang telah ditentukan, berbaris. Biasanya, puluhan perempuan terjaring. Di sini, mereka dinasihati dan diminta berjanji tak mengulangi lagi berpakaian ketat. Setelah diceramahi, mereka dilepas. Tak sedikit dari perempuan yang terjaring protes, karena pelaksanaan syariat Islam di Aceh, sejak 2001, seperti terjebak pada masalah pakaian dan korbannya, kaum hawa.
Hari itu, 5 Februari lalu, dua perempuan yang tidak menutup kepala terjaring. Mereka mengaku beragama Kristen. Usai diperiksa dan dinasihati, keduanya dilepas. Biasanya, bila ada perempuan tak mengenakan jilbab terjaring razia, ia dibawa ke kantor WH untuk mendapatkan pembinaan lebih, seperti terjadi pertengahan Juni lalu.
Kepala Seksi Penegakan Pelanggaran WH Aceh, Samsuddin mengatakan non-muslim diharapkan menghormati Aceh yang melaksanakan syariat Islam. Dia mengimbau perempuan non-muslim juga menutup aurat. “Non-muslim yang tinggal di Aceh diminta memakai jilbab untuk menghormati muslim di Aceh,” katanya kepada wartawan usai razia, 5 Februari silam.
Dia juga menyatakan, ke depan qanun tentang syariah akan diberlakukan bagi non-muslim di Aceh. Setelah pernyataan itu diberitakan media massa, pejabat Aceh berusaha mengklarifikasikan bahwa syariat Islam hanya berlaku untuk muslim.
Malah, Gubernur Aceh Zaini Abdullah menggelar coffee morning dengan para jurnalis pada 21 Februari lalu. Dalam pernyataan, Zaini menegaskan pihaknya menjamin kebebasan beragama di Aceh dan tidak ada diskriminasi bagi kaum minoritas. Pelaksanaan syariat Islam di Aceh, tambahnya, sangat menjunjung  tinggi dan menghormati  hak asasi manusia.
“Informasi yang berkembang seolah syariat Islam di Aceh diberlakukan untuk non-Muslim, tidak benar. Kondisi itu tentunya sangat merugikan Aceh karena tak sesuai fakta,” ujarnya. “Syariat Islam di Aceh mengedepankan pendekatan pendidikan, adat istiadat dan budaya.”
Pernyataan Samsuddin tak keliru. Sebab, ada aturan hukum yang bisa dipakai untuk menjerat warga non-muslim bila melakukan pelanggaran syariat Islam di Aceh. Aturan itu ialah Qanun Hukum Acara Jinayat yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada 13 Desember 2013.
Pasal lima Qanun Nomor 7 Tahun 2013, yang ditandatangani Gubernur Zaini, berbunyi, “Qanun Aceh ini berlaku untuk lembaga penegak hukum dan setiap orang yang berada di Aceh.” Itu bermakna qanun itu dilaksanakan bagi semua orang di Aceh, tanpa memandang agama atau kewarganegaraan.
Qanun Hukum Acara Jinayat merupakan peraturan daerah Aceh tentang tata cara penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga persidangan di mahkamah syariah. Qanun memberi kewenangan kepada penyidik WH dan polisi untuk menggeledah, menangkap, dan menahan pelaku pelanggar syariat. Lamanya 20 hari, yang dapat diperpanjang hingga 30 hari.
Itu pula yang menjadi dasar bagi polisi WH Aceh menyiapkan kamar tahanan di komplek kantor tersebut. Dua kamar ukuran 5 x 5 meter terletak di bagian belakang kantor. Sejauh ini, sudah ada beberapa pelanggar syariat Islam yang ditahan di situ.
Selama ini, aparat penyidik hanya boleh menggeledah dan menangkap pelaku pelanggaran syariat. Setelah dilakukan pembinaan, pelanggar syariat biasanya dibebaskan karena tak ada kewenangan bagi penyidik melakukan penahanan. Itu pula yang dijadikan sebagai salah satu alasan pelaksanaan syariat Islam di Aceh dianggap belum maksimal.
Dalam Qanun Hukum Acara Jinayat juga disebutkan bahwa non-muslim yang melakukan pelanggaran bersama orang Islam dapat memilih apakah diproses hukum di Mahkamah Syar’iyah atau Pengadilan Negeri. Tapi bila pelanggaran tersebut tak diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) atau undang-undang lain di Indonesia, maka pelaku non-muslim itu tetap diadili di Mahkamah Syar’iyah.
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Nahdhatul Ulama (DPW NU) Aceh, Teungku Faisal Ali, menilai masuknya pasal kontroversial yang mengatur non-muslim terkesan sebagai upaya terselubung agar qanun itu tak dapat dilaksanakan.
“Selama ini berbagai cara dilakukan oleh sebagian kalangan agar syariat Islam tidak jalan di Aceh. Salah satunya dengan memasukkan pasal yang mengatur warga non-muslim padahal itu tidak perlu. Jadi, itu upaya penghambatan dan kesengajaan sehingga syariat Islam tak maksimal dijalankan,” katanya.
Menurut Faisal, DPRA dan Pemerintah Aceh terkesan tak serius mendukung pelaksanaan syariat Islam, karena terus mengulur waktu pengesahan Qanun Jinayat. “Padahal, qanun itu sangat dibutuhkan untuk tegaknya syariat Islam secara kaffah,” katanya yang menambahkan bahwa sebelumnya DPRA pernah berjanji mengesahkannya pada 2013.
Qanun Jinayat merupakan penyempurnaan aturan pelaksanaan syariat Islam di Aceh, karena empat qanun yang ada selama ini banyak kelemahan sehingga implementasi syariat tak maksimal. Empat qanun yang digunakan selama 13 tahun terakhir hanya mengatur masalah-masalah syiar Islam, khamar, maisir (perjudian), dan khalwat (mesum). Itulah hukum materil pelaksanaan syariat Islam di Aceh.
Terhadap para pelaku khamar diancam hukuman maksimal 40 kali cambuk di depan umum. Hukuman bagi pelaku mesum antara tiga hingga sembilan kali cambuk. Sedangkan, penjudi diancam hukuman cambuk antara enam hingga 12 kali.
Dalam Rancangan Qanun Jinayat yang sedang dibahas DPRA dan Pemerintah Aceh, ada penambahan beberapa persoalan lain seperti zina, pemerkosaan, pelecehan seksual, homoseksual dan lesbian. Ancaman hukuman bagi pelaku pelanggaran syariat Islam dalam qanun itu lebih keras, yakni puluhan hingga ratusan kali cambuk atau puluhan sampai ratusan bulan hukuman penjara.
Faisal menyebutkan, akibat masuknya pasal dapat menjerat non-muslim telah membuat pelaksanaan syariat Islam di Aceh dipersoalkan sejumlah kalangan di luar negeri, karena seolah-olah Aceh tak menghormati toleransi beragama. Faktanya, mayoritas muslim Aceh sejak dulu sangat menghormati kebebasan beragama dan toleran bagi non-muslim.
“Tak pernah terjadi konflik agama di Aceh. Kita bisa hidup dengan warga non-muslim secara damai. Malah saat konflik bersenjata hampir 30 tahun, tak ada non-muslim dan kaum minoritas jadi korban,” ungkap Faisal, yang juga Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh. “Mayoritas muslim Aceh sangat menghormati kelompok minoritas dan kita bisa hidup berdampingan.”
Kepala Biro Hukum Pemerintah Aceh, Edrian menjelaskan, masuknya pasal yang mengatur masalah non-muslim sebagai bentuk antisipasi, supaya jangan sampai pelaku pelanggaran pidana syariat bebas dari jeratan hukum.
“Pasal itu untuk menghindari kevakuman kalau terjadi tindak pidana yang tak diatur dalam KUHP sehingga pelaku tindak pidana bebas dari sanksi hukum,” katanya. “Tetapi menurut saya, tidak ada pelanggaran pidana yang tak diatur dalam KUHP atau aturan lain di Indonesia.”
Pendapat senada diungkapkan Abdullah Saleh, mantan Ketua Panitia Khusus Qanun Hukum Acara Jinayat DPRA. Menurut dia, pasal yang dapat menjerat non-muslim untuk memberi rasa keadilan hukum kepada pelaku pelanggaran syariat Islam di Aceh.
“Kalau terjadi tindak pidana yang di dalamnya terdapat non-muslim, tapi tak diatur dalam KUHP atau aturan lain di Indonesia, pelaku pelanggaran hukum beragama Islam diproses hukum, sementara non-muslim harus bebas karena tidak ada dasar hukum menjeratnya. Dimana rasa keadilan hukum,” katanya. “Sangat tersinggung rasa keadilan jika yang satu diadili, satu lagi bebas.”
Ia memberikan contoh pelanggaran yang tak diatur dalam KUHP atau aturan hukum lain di Indonesia, tetapi terdapat dalam qanun tentang syariat Islam di Aceh, yaitu khalwat dan khamar. “Berdua-duaan laki-laki dan perempuan atas dasar suka sama suka yang dilakukan orang dewasa tanpa ikatan perkawinan tidak bisa ditindak karena mesum tak ada deliknya dalam KUHP,” katanya.
Politisi senior Partai Aceh ini mengaku bahwa pasal yang tercantum pada Bab Koneksitas Qanun Hukum Acara Jinayat seakan-akan ada pemaksaan ajaran Islam kepada non-muslim di Aceh. “Sebenarnya, tak ada itu. Ini semata-mata untuk memberi rasa keadilan hukum dan bukan hendak menerapkan ajaran Islam untuk non-muslim,” jelasnya.
Abdullah memastikan bahwa tak ada penolakan dari warga non-muslim atas  masuknya pasal kontroversial tersebut. Ia juga menyatakan, saat pembahasan Qanun Hukum Acara Jinayat, pihaknya tidak melaksanakan dengar pendapat dengan kalangan non-muslim di Aceh.
Alasannya “tidak ada kolerasi langsung karena penerapan syariat Islam hanya untuk orang Islam. Sedangkan, pasal yang mengatur masalah non-muslim itu hanya satu segmen kecil di bagian koneksitas,” ujarnya.
Kho Khie Siong, Ketua Komunitas Hakka Aceh, menyebutkan bahwa toleransi antarumat beragama terjalin sangat baik di Aceh. Interaksi sosial juga cukup baik terbina antara orang Islam dan non-muslim. “Kami sangat menghormati pelaksanaan syariat Islam di Aceh,” katanya.
Saat ditanya tanggapannya soal pasal dalam Qanun Acara Jinayat yang dapat menjerat non-muslim, Kho menyatakan tak bisa berkomentar banyak, karena belum mempelajari secara detil ketentuan tersebut.
"Tetapi, ini terkesan agak aneh karena yang saya tahu syariat Islam di Aceh hanya berlaku untuk Muslim saja. Jadi kenapa harus diberlakukan juga untuk non-Muslim," ujarnya.
Pernyataan senada juga diutarakan Baron Ferryson Pandiangan, Pembimbing Masyarakat Katolik di Kementerian Agama Provinsi Aceh. Menurut dia, umat Katolik yang berjumlah 5.300 lebih di Aceh sangat menghormati pelaksanaan syariat Islam karena ini bentuk kearifan lokal dan kekhususan Aceh.
“Toleransi orang Aceh terhadap warga non-muslim sangat tinggi. Saya pribadi merasa lebih menjadi Katolik sejati sejak bertugas di Aceh. Saya merasa lebih taat,” kata Baron, yang telah tiga tahun lebih menetap di Banda Aceh.
Soal menjerat warga non-muslim bila melakukan pelanggaran bersama orang Islam, Baron menyatakan, Pemerintah Aceh belum pernah mensosialisasikan masalah tersebut kepada umat Katolik. “Patut dipertanyakan juga apa motif di balik masuknya pasal  itu karena syariat Islam hanya untuk muslim,” katanya.
Direktur Eksekutif Koalisi NGO HAM Aceh, Zulfikar Muhammad menyatakan kekhawatirannya saat pasal kontroversial itu diimplementasikan, karena bisa jadi polisi syariah bakal bertindak di luar kewenangan seperti diatur dalam Qanun Hukum Acara Jinayat.
“Ini bentuk diskriminasi terhadap warga non-muslim oleh DPRA karena tetap memaksakan pasal itu masuk dalam qanun,” katanya. “Siapa bisa jamin kalau WH tak akan bertindak di luar batas kewenangan mereka, seperti yang sering terjadi selama ini ketika pasal itu dilaksanakan.”
Sementara itu, Saifuddin Bantasyah, pengamat hukum dari Universitas Syiah Kuala, memastikan bahwa pasal kontroversial itu tak bisa diimplementasikan karena tak ada hukum materil. Empat qanun yang jadi dasar hukum materil pelaksanaan syariat Islam di Aceh berlaku bagi muslim.
“Ketika hukum acara menambah klausul yang juga berlaku bagi non-muslim, dasar hukum penuntutan apa? Jadi, Qanun Hukum Acara Jinayat tak dapat dilaksanakan untuk non-muslim,” katanya.
Saifuddin menambahkan satu aturan hukum tidak boleh dibuat kalau tak bisa dilaksanakan. Non-muslim di Aceh bisa dijerat dengan aturan hukum pidana Indonesia kalau melanggar syariat bersama muslim. “Bisa saja non-Muslim dijerat pasal mengganggu ketertiban umum. Bukan memasukkan pasal diadili di Mahkamah Syar’iyah karena tak dapat dilaksanakan,” ujarnya.
Saifuddin yang merupakan seorang dosen Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala, menyatakan pernah terjadi tahun 2006, tiga orang Kristen dan seorang Islam terlibat perjudian hendak diadili di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh.
“Di persidangan, hakim bertanya pada tiga orang Kristen itu apakah mereka tahu fungsi Mahkamah Syar’iyah. Mereka menjawab tidak tahu. Lalu, hakim menjelaskan bahwa Mahkamah Syar’iyah hanya mengadili orang Islam,” tutur Saifuddin.
Kemudian hakim bertanya kepada mereka apakah mau masuk Islam sehingga bisa diproses di Mahkamah Syar’iyah. Hakim juga menjelaskan syarat-syarat bagi seseorang pindah agama. Tetapi, ketiganya sepakat tidak mau pindah ke agama Islam. “Akhirnya, hakim memutuskan Mahkamah Syar’iyah tak punya kompetensi dan tak berwenang mengadili perkara itu,” katanya.
Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh, Jamil Ibrahim, sependapat dengan Saifuddin. Menurut Jamil, non-muslim yang melakukan pelanggaran bersama Muslim tak dapat diproses dengan qanun syariat Islam karena empat hukum materil yang ada hanya berlaku untuk orang Islam.
“Tetapi, non-muslim di Aceh boleh menundukkan diri diproses di Mahkamah Syar’iyah jika melakukan pelanggaran bersama muslim. Caranya dia memilih apakah diadili di Mahkamah Syar’iyah atau Pengadilan Negeri atas kesadaran sendiri, tanpa paksaan dari pihak manapun,” katanya.
Ditambahkan, masuknya pasal kontroversial yang tetap mengadili warga non-Muslim kalau tak ada aturan hukum pidana Indonesia akan membingungkan hakim Mahkamah Syar’iyah karena tidak dapat dilaksanakan. “Mungkin nanti akan dibuatkan qanun khusus yang mengatur masalah itu,” ujarnya.
Sondang Marbun, Pembimbing Masyarakat Kristen pada Kantor Departemen Agama Aceh, menyatakan pasal kontroversial itu dalam Qanun Hukum Acara Jinayat tidak begitu berpengaruh, karena yang terpenting adalah setiap umat beragama jangan melanggar aturan, sehingga tak perlu diproses hukum.
Sebagai bentuk penghormatan pelaksanaan syariat Islam di Aceh, perempuan yang telah 35 menetap di Aceh memilih tampil mengenakan jilbab saat berada di luar rumah. Anak-anak perempuannya dan perempuan Kristen dianjurkan memakai jilbab, tapi tidak ada paksaan dan mereka bebas berpakaian asalkan sopan.
“Saya selalu pesan pada umat Kristen untuk menyesuaikan diri karena Aceh memberlakukan syariat Islam. Saya dan anak-anak selalu memakai jilbab bila keluar rumah. Begitu juga sebagian perempuan Kristen lain. Mereka nyaman saja meski tak ada kewajiban harus pakai jilbab,” katanya.[]

Syariat untuk Non-Muslim Syariat untuk Non-Muslim Reviewed by theacehglobe on August 10, 2014 Rating: 5

1 comment:

  1. JILBAB MENURUT BUYA HAMKA (Pendiri/Ketua MUI ke-1, Tokoh Ulama Besar Muhammadiyah), yang ditentukan oleh agama adalah Pakaian yang Sopan dan menghindari 'Tabarruj'

    Berikut adalah kutipan Tafsir Al-Azhar Buya HAMKA (selengkapnya lebih jelas dan tegas dapat dibaca khususnya Al-Ahzab: 59 dan An-Nuur: 31):

    'Nabi kita Muhammad saw. Telah mengatakan kepada Asma binti Abu Bakar ash-Shiddiq demikian,

    "Hai Asma! Sesungguhnya Perempuan kalau sudah sampai masanya berhaidh, tidaklah dipandang dari dirinya kecuali ini. (Lalu beliau isyaratkan mukanya dan kedua telapak tangannya)!"

    Bagaimana yang lain? Tutuplah baik-baik dan hiduplah terhormat.

    Kesopanan Iman

    Sekarang timbullah pertanyaan, Tidakkah Al-Qur'an memberi petunjuk bagaimana hendaknya gunting pakaian?

    Apakah pakaian yang dipakai di waktu sekarang oleh perempuan Mekah itu telah menuruti petunjuk Al-Qur'an, yaitu yang hanya matanya saja kelihatan?

    Al-Qur'an bukan buku mode!

    Islam adalah anutan manusia di Barat dan di Timur. Di Pakistan atau di Skandinavia. Bentuk dan gunting pakaian terserahlah kepada umat manusia menurut ruang dan waktunya.

    Bentuk pakaian sudah termasuk dalam ruang kebudayaan, dan kebudayaan ditentukan oleh ruang dan waktu ditambahi dengan kecerdasan.

    Tidaklah seluruh pakaian Barat itu ditolak oleh Islam, dan tidak pula seluruh pakaian negeri kita dapat menerimanya.

    Baju kurung cara-cara Minang yang guntingnya sengaja disempitkan sehingga jelas segala bentuk badan laksana ular melilit, pun ditolak oleh Islam.'

    (Tafsir Al-Azhar, Jilid 6, Hal. 295, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015)

    MENGENAL (KEMBALI) BUYA HAMKA

    Ketua Majelis Ulama Indonesia: Buya HAMKA
    mui.or.id/tentang-mui/ketua-mui/buya-hamka.html

    Hujjatul Islam: Buya HAMKA
    republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/04/12/m2clyh-hujjatul-islam-buya-hamka-ulama-besar-dan-penulis-andal-1

    Mantan Menteri Agama H. A. Mukti Ali mengatakan, "Berdirinya MUI adalah jasa Hamka terhadap bangsa dan negara. Tanpa Buya, lembaga itu tak akan mampu berdiri."

    kemenag.go.id/file/dokumen/HAMKA.pdf

    "Buya HAMKA adalah tokoh dan sosok yang sangat populer di Malaysia. Buku-buku beliau dicetak ulang di Malaysia. Tafsir Al-Azhar Buya HAMKA merupakan bacaan wajib."

    disdik.agamkab.go.id/berita/34-berita/1545-seminar-internasional-prinsip-buya-hamka-cermin-kekayaan-minangkabau

    "orang puritan sebagai mayoritas di Muhammadiyah, Jilbab bukan sesuatu yang wajib" KOMPAS, Senin 30 November 2009 Oleh AHMAD NAJIB BURHANI, Peneliti LIPI

    www.academia.edu/7216467/100_Tahun_Muhammadiyah

    "Sebab itu, menjadi pilihan pribadi masing-masing Muslimah mengikuti salah satu pendapat jumhur ulama: memakai, atau tidak memakai jilbab."

    nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,48516-lang,id-c,kolom-t,Polwan+Cantik+dengan+Berjilbab-.phpx

    "Antara Syari'ah dan Fiqh

    (a) menutup aurat itu wajib bagi lelaki dan perempuan (nash qat'i dan ini Syari'ah)
    (b) apa batasan aurat lelaki dan perempuan? (ini fiqh)

    Catatan: apakah jilbab itu wajib atau tidak, adalah pertanyaan yang keliru. Karena yang wajib adalah menutup aurat.

    Nah, masalahnya apakah paha lelaki itu termasuk aurat sehingga wajib ditutup? Apakah rambut wanita itu termasuk aurat sehingga wajib ditutup? Para ulama berbeda dalam menjawabnya."

    *Nadirsyah Hosen, Dosen Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

    luk.staff.ugm.ac.id/kmi/isnet/Nadirsyah/Fiqh.html

    Terdapat tiga MUSIBAH BESAR yang melanda umat islam saat ini:
    1. Menganggap wajib perkara-perkara sunnah.
    2. Menganggap pasti (Qhat'i) perkara-perkara yang masih menjadi perkiraan (Zhann).
    3. Mengklaim konsensus (Ijma) dalam hal yang dipertentangkan (Khilafiyah).

    *Syeikh Amru Wardani. Majlis Kitab al-Asybah wa al-Nadzair. Hari Senin, 16 September 2013

    www.suaraalazhar.com/2015/05/tiga-permasalahan-utama-umat-saat-ini.html

    ReplyDelete

Ads

Powered by Blogger.